Selasa, 23 Februari 2016

BERPIKIR SKENARIO

Scenario planning, also called scenario thinking or scenario analysis, is a strategic planning method that some organizations use to make flexible long-term plans. It is in large part an adaptation and generalization of classic methods used by military intelligence (wikipedia).
Berpikir skenario (scenario thinking) merupakan suatu metode analisis dalam proses perencanaan strategis, yang kemudian disebut perencanaan skenario (scenario planning). Metode ini diadaptasi dari model perencanaan klasik yang umum digunakan oleh intelejen dalam kemiliteran (Mats Lindgren & Hands Bandhold, 2003). Herman Kahn adalah salah seorang pemikir yang mencanangkan model berpikir skenario dalam bentuk narasi masa depan dalam perencanaan militer Amerika Serikat tahun 1950-an. Kahn mengadopsi istilah 'skenario' sebagai narasi masa depan. Kemudian pada tahun 1961, Kahn mendirikan Hudson Institute untuk mengembangkan skenario masa depan dalam pelayanan publik.

Jumat, 12 Februari 2016

MEMEDIASI ARKEOLOGI DAN PARIWISATA

Kebudayaan belum dianggap sebagai modal yang bernilai tinggi bagi masa depan rakyat. Usaha arkeologi menjembatani kebutuhan pemerintah dan pemahaman segenap lapisan masyarakat Indonesia masih ketinggalan jauh dari negara-negara maju, bahkan dari beberapa negara berkembang di Asia Tenggara seperti Thailand dan Malaysia. Pemikiran, cara kerja, dan data-data baru yang tumbuh subur pada dunia arkeologi Indonesia masih lebih banyak bergerak di sekitar “lingkar dalam” para akademisi, peneliti, dan praktisi arkeologi. 
Persentuhan langsung, kerja arkeologi dengan dunia praktis kepariwisataan sejak tahun 2000 juga masih mencari bentuk. Prinsip-prinsip pokok untuk “menjual” atau mempromosikan aset arkeologi untuk pariwisata terus diperdebatkan. Maka di samping sulit mempriktekkannya, sesungguhnya wisata arkeologi menuntut kerja-kerja serta usaha-usaha mediasi untuk mencapai tingkat pemahaman yang memadai dari segenap lapisan masyarakat itu. 

Selasa, 02 Februari 2016

SIAPA PEDULI MAKAM TUA BARRANG LOMPO



Sejarah kampung, sejarah peradaban kota. Entitas suatu kota diterjemahkan dari sejarah atau legenda kampung, yang dahulu disebut Wanua. Bukan sebaliknya. Soal ini ditegaskan oleh almarhum Profesor Mattulada dalam sebuah makalahnya (1992) bahwa masyarakat sulawesi selatan hanya mengenal konsep Wanua (kampung, pemukiman). Kota yang dikenal kemudian merupakan pusat pemerintahan. Penegasan ini dapat dijadikan landasan berpikir bahwa legitimasi suatu pemerintahan kota (Walikota), seharusnya sejalan dengan moralitas "Patanna Kampong" (tetua kampung). Kota Makassar yang dikenal hingga kini sesungguhnya adalah kota kolonial dibawah pemerintahan Hindia Belanda, yang berkedudukan di benteng Fort Rotterdam.
Pulau Barrang Lompo, suatu kampung yang menjelaskan sisi lain dari sejarah kota Makassar. Kampung (kelurahan) seluas 20,38 ha, berpenduduk 4.000-an jiwa, yang jarakna sekitar 13 km dr pusat kota Makassar. Pulau yang bernuansa mistik, begitu kesan seorang sahabat yang pernah bekerja 4 tahun di sana. Yang dia maksud adalah komplek makam tua dan mesjid, yang bertalian dengan risalah penyebaran Islam dan asal mula penduduk pulau. Di dalamnya tercatat riwayat pembauran orang Bugis (Bone), Makassr (Gowa), Melayu, Mandar dan China. Juga dikisahkan aksi-aksi gerombolan di pulau ini pasca kemerdekaan. Sungguh suatu tempat ziarah yang penuh berkah. Sayangnya, tidak banyak yang merilis catatan kunjungan maupun hasil penelitian tentang situs-situs bersejarah tersebut. Kebanyakan pengunjung dan peneliti menguraikan aspek sosial-ekonomi dan potensi wisata pulau Barrang Lompo.
Tulisan ini pun hanya lah sebuah catatan harian dari kunjungan singkat penulis sekitar bulan April 2014. Penulis laiknya wisatawan yang sempat memotret beberapa situs makam tua, yang diperkirakan sudah ada pada abad XIX. Dengan harapan catatan ini menggugah para peneliti sejarah dan arkeologi untuk mengkaji lebih komprehensif situs tersebut sebagai bagian yang tidak terpisah dari sejarah kota Makassar. Berikut catatan pendek penulis.
Masyarakat pulau Barrang Lompo memiliki kemampuan menggunakan beberapa bahasa sekaligus seperti Makassar, Bugis, Mandar, dan China (Tionghoa). Bahasa yang terakhir ini jarang digunakan lagi. Demikian halnya sapaan Ance dan Bonda yang ditujukan kepada keturunan Tionghoa, tidak pernah terdengar lagi. Kepunahannya mengikuti perubahan sosial dan pertumbuhan penduduk dari generasi ke generasi. Sekolah-sekolah formal juga turut mengkonstruksi keasadaran berbahasa, terutama di kalangan anak dan pemuda menjadi hanya bahasa daerah Bugis-Makassar dengan aksara Lontaraq. Dengan sesama suku, mereka menggunakan bahasa daerah yang sama. Pada saat berinteraksi dengan dengan suku yang berbeda, mereka menggunakan bahasa Makassar atau pun bahasa Indonesia sebagai pengantar komunikasi.
Pada umumnya masyarakat di pulau Barrang Lompo masih menghargai budaya spiritual (tradisional). Misalnya, upacara Lahir Bathin, yaitu kegiatan mensucikan diri smenjelang bulan Ramadhan; Songkabala, upacara  menolak bala (bencana); Pa'rappo, ritual yang dilakukan nelayan sebelum tmelaut, dan; upacara Karangan, yaitu ritual yang dilakukan nelayan sepulang melaut sebagai bentuk rasa syukur atas hasil tangkapan yang berlimpah. Ada pula kelompok tarekat yang pengikutnya cukup aktif berdzikir pada setiap malam jumat. (Dg. Situju).