Senin, 20 November 2017

Arkeologi di Mata KidZamaNow

Istilah generasi Zaman Old digunakan oleh anak-anak muda millenial untuk menyebut para arkeolog yang menggeluti peradaban manusia masa lampau. Generasi millenial, yang kini lebih populer disebut KidZamanNow alias “anak jaman medsos” adalah anak-anak muda masa kini kelahiran tahun 2000-an. Mereka tumbuh dan berkembang pada masa pesatnya penggunaan teknologi digital, internet. Sejak kecil terbiasa dengan bunyi, bentuk, dan radiasi elektromagnetik yang dipancarkan mesin digital. Umumnya, pelajar sekolah menengah, yang ‘melek teknologi’ (techno-savvy) dibanding orang tua mereka yang lebih ‘melek huruf’ (techno-literacy). Anak-anak muda millenial ini kemudian menjadi konsumen aktif atau pengguna utama gadget (gawai), aplikasi, dan fitur-fitur pada laptop dan smartphone (android).
Sesungguhnya, generasi zaman old maupun zaman now, sama-sama mengalami ketergantungan pada produk teknologi digital. Bedanya, anak-anak muda ‘zaman now’ di kota maupun di pedesaan, jauh lebih intens dan lebih cekatan menggunakan berbagai fitur dan aplikasi android tinimbang orang-orang tua mereka. Di sisi lain, generasi zaman old memiliki pengalaman dan literasi yang memadai untuk mengapresiasi dan mengolah berbagai informasi yang disediakan teknologi digital. Hal inilah yang mendasari kebanyakan orang-orang tua memandang penting sekali membiasakan ‘kid zaman now’ berinteraksi dan mengalami langsung kehidupan sehari-hari. Misalnya, menguji informasi dalam diskusi kelompok, atau pun mengekspresikan pengalaman dalam bentuk tulisan maupun pertunjukan kreatif.
Berkaitan dengan hal tersebut, penulis mengapresiasi kegiatan Balai Arkeologi (Balar) Sulawesi Selatan yang melibatkan siswa-siswi sekolah menengah atas dalam Archeological Partnership Expose (APEX). Setiap tahun, Balar Sulsel memobilisasi siswa-siswi untuk mengambil bagian dalam berbagai even APEX. Tahun 2017 adalah tahun ke 10 yang diselenggrakan Balar Sulsel bekerja sama dengan pemerintah daerah. Dan, even serupa APEX ini semakin terasa signifikansinya bagi pendidikan karakter generasi muda. Rangkaian kegiatan APEX seperti workshop, bedah buku, kunjungan situs, menulis kreatif, fotografi hingga pertunjukan seni, semakin eventual.
Rangkaian kegiatan APEX telah melampaui misi Balar itu sendiri yang hendak menjadi pusat informasi dan pengembangan arkeologi di wilayah timur Indonesia. Balar Sulsel hari ini sedang mengembangkan literasi warisan budaya tangible maupun intangible bagi generasi muda milenial; menanamkan kesadaran berbahasa, sejarah, budaya-tradisi, kerjasama, juga nilai-nilai kompetitif bagi siswa-siswi sekolah menengah atas.
Literasi dan Warisan Budaya
Mengutip rumusan National Intitute for Literacy (NIFL), Literasi adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Pengembangan dari pengertian ini adalah proses generasi mudah mewarisi nilai-nilai budaya sejak dini, yaitu mengingat, mendengarkan, membaca, menyaksikan, mengungkapkan, dan melakukan perubahan perilaku sesuai dengan tuntutan zaman now.
Warisan Budaya, sebagaimana yang dirumuskan oleh Unesco adalah benda  (tangible)  dan atribut tak benda  (intangible)  yang merupakan jati diri masyarakat atau bangsa yang diwariskan oleh generasi masa lalu, dan dilestarikan kepada generasi masa kini dan yang akan datang. Warisan budaya berupa benda (tangible ) dapat diindera dan diukur (artefak, peralatan, bangunan maupun berupa lokasi atau kawasan). Warisan budaya tak benda (intangible) hanya dapat diapresiasi dengan akal-budi dan rasa-merasa (pengetahuan tradisional, desain industri, tradisi lisan, komposisi bunyi, gerak, dan motif).
Indonesia adalah negara adikuasa (superpower) di bidang warisan budaya. Pernyataan ini tidak terbantahkan. Misalnya, ada sekitar 82.000 desa/kelurahan dengan berbagai sebutan yang khas seperti wanua, gampong, dusun, kuwu, negeri, nagari, banjar, lembang, jorong. Begitu pun sebutan bagi seorang kepala desa sangat unik seperti matoa, gallarang di Sulsel, Ayahanda di Gorontalo, Sangadi di Bolaang Mongondow, Geuchik di Aceh, Raja di Maluku, Kepala Kampung di Papua, Petinggi di Sumatera, Lurah di Jawa, dan lain-lain.
Dari Sabang hingga Merauku, dari Miangas hingga Rote, luas wilayah NKRI adalah 1.905.000 km persegi dengan populasi 257.912.349 jiwa (BPS, 2016). Dari sini terbentang sekitar 1.340 suku bangsa/etnis dari 300 kelompok suku; sekitar 1.211 bahasa daerah yang tersebar di 17.504 pulau besar dan kecil.  Di Sulawesi Selatan, terdapat 11 suku bangsa, dan 9 bahasa yang tersebar di 3.813 desa/kelurahan dan 295 pulau (BPS, 2015). Dengan kekayaan dan keanekaragaman warisan budaya itu semua, sudah benar bila Unesco menyebut Indonesia adalah ‘superpower’ budaya-tradisi. Nyaris tidak ada negara di dunia ini yang sekaya dan seaneka ragam Indonesia.
Pertanyaannya, apa yang diapresiasi anak-anak zaman now dari ‘harta karun’ warisan budaya itu?
Belajar, Bermain, dan Berkompetisi
Geberasi KidZamaNow jelas memiliki kesempatan yang nyaris tanpa batas untuk menjangkau dan mengupdate situasi kebudayaan masa kini. Setiap hari, setiap menit, tinggal click, maka mesin google menyediakan informasi dan mengupdate peristiwa kebudayaan di seluruh dunia. Seluas itulah medan pembelajaran anak-anak muda masa kini, dan semudah itulah mereka menentukan pilihannya. Soalnya kemudian, seberapa lama mereka menggunakan internet untuk mengakses informasi kebudayaan? Faktanya, tidak lah begitu menggembirakan.
Sejauh pengetahuan penulis dari pengamatan dan percakapan dengan siswa sekolah menengah atas dan mahasiwa (usia 15 – 24 tahun), rata-rata waktu yang digunakan mengakses media sosial adalah 2 – 5 jam. Mereka memanfaatkan aplikasi Whatsapp, Line, Instagram, Facebook, dan intens menonton video You Tube, terutama melalui mesin android. Namun, informasi yang paling menarik diakses dan dibagikan belakangan ini? Sebagian besar adalah informasi tentang keagamaan, hiburan budaya pop, perisriwa heboh, di samping tugas-tugas sekolah dan tentu saja game. Kecenderungan seperti ini tentu sangat menantang para orang tua, juga guru dan pegiat pendidikan. Apatah lagi bagi para arekolog dan sejarawan, yang mulai merasa semakin tua (old) di jaman yang cenderung semakin a-historis ini.
Dari ilustrasi di atas, penulis semakin menyadari arti pentingnya even APEX Balar Sulsel. Di balik itu, para arkeolog terus berupaya menegaskan eksistensinya, sambil menjangkau sebanyak mungkin siswa-siswi dan anak-anak muda milenial terlibat dalam kegiatan belajar, bermain, dan berkompetisi di ajang APEX Balar Sulsel#

Jumat, 17 November 2017

Literasi Warisan Budaya APEX Balar 2017

Dari Alun-alun Pantai Seruni Bantaeng, Balai Arkeologi Sulawesi Selatan (Balar Sulsel) dengan bangga menggelar Archeological Partenership and Expose (APEX 2017). Ini adalah pagelaran dan kemitraan yang kedua Balar Sulsel dengan pemerintah daerah yang bertajuk APEX sebagai pengembangan dari Kemah Arkeologi sejak tahun 2006. 
Apa yang signifikan, dan karena itu bermakna dari APEX di Bantaeng? Bagi Tajuddin (69), pensiunan guru Bahasa Indonesia SDN 5 Bantaeng, kegiatan APEX merupakan ajang membangun kekompakan. “Seringkali perlombaan antarsekolah berujung ricuh”. Namun, menurut pak Taju yang saat ini kembali bertani, memandang pertunjukan seni APEX lebih mengedepankan budaya toleransi. Sejauh disaksikannya, ada kesungguhan anak-anak muda mengekspose kemampuannya bernyanyi, memainkan peralatan seni, menari, berpuisi, mengusung tema-tema warisan budaya di atas panggung. Penonton tidak tergoda untuk bertindak liar. Menariknya lagi, banyak ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak kampung yang menyaksikan pertunjukan hingga usai.
Kesan lain dari seorang ibu rumah tangga, Almi (45) yang singgah sepulang belanja di pasar malam. Perempuan paruh baya ini mengaku tertarik untuk menyaksikan penampilan siswa dari SMA Negeri 1 Selayar. Menurutnya, pertunjukan sendratari yang berjudul Daeng Camummu yang dipentaskan siswa SMA Negeri 1 Selayar sudah bagus, tapi terlalu singkat. Berbeda sekali dengan apa yang pernah disaksikannya di pulau Jampea kepulauan Selayar. Namun, menurut guru pendamping siswa SMAN 1 Selayar, penyingkatan dilakukan untuk memenuhi jangka waktu lima menit yang ditentukan panitia APEX. Penyesuaian dari sisi peralatan juga dilakukan, misalnya dari peralatan bedil yang digunakan Tuan untuk menembak Bangau Putih (tokoh Daeng Cammumu) menjadi panah yang digunakan seorang Pemuda Desa. Penyesuaian ini didasarkan pada konteks pemain dan penonton yang mayoritas pelajar.
Kreativitas seperti yang dilakukan siswa SMAN 1 Selayar, juga terasa pada pertunjukan Tari Pagellu oleh siswa-siswi SMA Negeri 6 Toraja Utara. Tarian itu dimainkan oleh 3 penari siswi, 3 penari siswa dan 2 orang penabuh gendang secara apik, kompak dan indah sesuai dengan pakem tari Pagellu. Sentuhan kreativitas tampak pada penggunaan topeng pengawal dan orang tua, serta tameng senjata tanduk kerbau yang dikenakan penari siswa. Unsur kreatif yang paling menonjol adalah nada teriakan yang biasanya khas tarian masyarakat Toraja, yang bernada tinggi. Pada malam itu, nada teriakan diturunkan, sehingga mirip sebuah sapaan akrab dalam pergaulan remaja; ‘hai...hai-hai...”.          
Dari aspek tematik, menurut seorang juri lomba cipta dan pentas musik, apresiasi siswa-siswi kian terasa kuat dibanding APEX 2016 di Watansoppeng. Hanya 2 dari 10 penampil yang dinilai kurang mengapresiasi tema warisan budaya atau pun situs sejarah-arkeologi. Penampilan SMA Negeri 1 Watansoppeng dan SMA Negeri 2 Watansoppeng menunjukkan kemampuan siswa mengolah lirik bertema situs sekaligus memainkan peralatan musik perkusi, tiup, petik, keyboard dalam suatu komposisi. Demikian halnya, penampilan siswa-siswi SMA Negeri 5 Bantaeng, SMA Negeri 1 Selayar, dan SMA Negeri 1 Gowa. Meskipun masih mengandalkan peralatan musik petik (gitar), komposisi lagunya tidak lah mengecewakan. Misalnya, lagu yang disajikan SMAN 1 Gowa memasukkan unsur irama ‘rap’ sebagai daya tarik penampilannya.
Dari ajang perlombaan Menulis Kreatif (Literasi Warisan Budaya), beberapa penulis remaja dinilai cukup berbakat. Meskipun tidak banyak, yakni 2-3 dari 12 peserta lomba. Kendala teknis seperti waktu pembekalan yang terbatas akibat kepadatan agenda APEX, sebagian siswa masih menulis berdasarkan ragam tulisan atau laporan ilmiah. Tuntutan untuk mengedepankan aspek informasi lapang (situs) juga mempengaruhi siswa, sehingga abai terhadap aspek imajinasi yang merupakan intik dari tulisan kreatif semacam features maupun essai. Tulisan siswa SMA Negeri 2 Bantaeng dan SMA Negeri 1 Selayar adalah 2 dari 12 naskah yang dinilai memenuhi karakteristik tulisan kreatif atau pun karangan bebas (creative-writing). Pada dua tulisan tersebut, unsur deskriptif-informatif (laporan field trip) dikemas dengan gaya penulisan (features), gaya bahasa (kiasan, metafor), dan kronologi perjalanan (caper – catatan perjalanan) yang menarik.
Dari sisi kreativitas, uraian singkat di atas dapat menjelaskan makna yang signifikan dari APEX 2017 di Bantaeng dibandingkan sebelumnya. Meskipun jumlah sekolah yang hadir hanya separuh dari peserta APEX 2016, apresiasi dan kualitas pertunjukan siswa tetap terjaga. 

Senin, 13 November 2017

SOSOK ARKEOLOG BALAR SULSEL


Drs. Budianto Hakim, arkeolog dan peneliti warisan budaya Indonesia di Makassar adalah pribadi yang 'flamboyan''. Saya mengenal pak Budi, begitu panggilannya, dalam dua even pagelaran kemitraan  Balai Arkeologi Sulawesi Selatan (Balar Sulsel) dengan pemerintah kabupaten, yakni APEX 2016 di Watansoppeng dan APEX 2017 di Bantaeng. Penampilan 'nyantai', mencerminkan pengalamannya yang matang di lapangan. Sekira 20 tahun sudah dia bekerja sebagai peneliti di Balai Arkeologi (Balar) Sulsel.
Hari itu, 15 November 2017 dalam diskusi Bedah Buku Butta Toa di Cafe Garasiku Bantaeng, alumni jurusan Arkeologi Unhas (1984/5) ini dengan bangga memperlihatkan profilnya dalam rubrik Sosok di Harian Kompas, edisi 12 November 2017. Setahuku, dia adalah sosok arkeolog Sulsel ketiga, setelah arkeolog Unhas Drs. Iwan Sumantri, Msi. dan arkoelog komunitas Anwa Akib yang menarik perhatian wartawan Kompas, Reny Sri Ayu dan T. Sularto. Tentu saja, bukan semata karena kesederhaaan hidup seorang arkeolog. Lebih dari itu adalah pengabdian yang sungguh pada pelestarian dan perlindungan warisan budaya bangsa Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan.
Berikut ini adalah sosok pak Budi versi Reny Sri Ayu wartawan Harian Nasional Kompas yang berjudul: Menggali Masa Lalu Menjawab Masa Depan. Sumber dikutip secara utuh dari https://kompas.id/baca/bebas-akses/2017/11/14/menggali-masa-lalu-menjawab-masa-depan/:

Penemuan lukisan tangan di langit-langit goa karts berusia 40.000 tahun di Leang (Goa) Timpuseng, Maros, Sulawesi Selatan, tahun 2014, sontak mengubah pandangan dunia tentang peradaban, terutama soal lukisan prasejarah. Lukisan tangan tertua bukan terdapat di Spanyol, melainkan di Indonesia. Sebelumnya, selama 100 tahun Eropa mengklaim sebagai wilayah yang mengenal seni cadas purba tertua dengan lukisan tangan berusia 38.000 tahun di Spanyol. Indonesia tentu patut berbangga, terlebih temuan lukisan ini termasuk salah satu dari 10 penelitian terbaik dunia tahun 2014. Bersama kebiasaan masyarakat Tana Toraja, sejak beberapa tahun lalu, lukisan cadas ini didaftarkan ke Organisasi Pendidikan, Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) guna memperoleh pengakuan sebagai world memory heritage.
Di balik temuan yang sempat menghebohkan jagat arkeologi dan sejarah dunia ini, ada Budianto Hakim (53), peneliti senior Balai Arkeologi Sulsel, yang punya peran penting. Budi yang pertama kali mencetuskan ide mendata usia lukisan tangan tersebut.
”Saat itu penelitian yang kami lakukan di Maros, bekerja sama dengan peneliti dan arkeolog Australia, sebenarnya fokus pada pencarian manusia purba. Penelitian pada lukisan tangan hanya untuk mencari jejak DNA yang mungkin tertinggal. Saya memberi ide untuk melakukan dating pada lukisan tersebut karena selama ini umumnya usia lukisan cap tangan hanya ditentukan berdasarkan hasil penggalian,” kata Budi.
Temuan spektakuler ini tak membuat Budi dan peneliti lain puas. Mereka kembali ke tujuan utama mencari jejak manusia purba. Namun, belum lagi manusia purba ditemukan, tahun 2016 mereka menemukan perhiasan berusia 30.000 tahun. Lagi-lagi ini jadi temuan penting karena menjadi perhiasan manusia purba tertua yang pernah ditemukan di Indonesia hingga saat ini.
Lukisan tangan maupun perhiasan, hanya sedikit dari sejumlah penelitian sejarah dan arkeologi penting di mana Budi punya peran strategis. Budi, misalnya, menjadi penghubung antara peneliti luar dan dalam negeri yang melakukan penelitian terutama di sebagian wilayah Sulawesi. Pada sebagian besar penelitian, Budi juga menentukan lokasi ekskavasi. Acap kali, dia pula yang turut melakukan pendekatan pada warga yang lahan atau wilayahnya menjadi lokasi penelitian.
Temuan penting
Perkenalan bapak dua anak ini pada sejarah dan arkeologi dimulai saat masih duduk di bangku sekolah dasar di Parepare. Saat itu, kedua orangtuanya yang guru sering membawa bahan bacaan ke rumah. Budi selalu tertarik membaca buku-buku sejarah. Budi yang memiliki jiwa petualang melihat dalam sejarah dan arkeologi, ada kisah nyata dan petualangan yang berpadu.
Setamat SMA, pada 1984, Budi memilih Jurusan Arkeologi di Universitas Hasanuddin. Keterlibatannya pada berbagai penelitian arkeologi sudah dimulai sejak masih kuliah. Pertama kali ikut penelitian, Budi membantu David Bulbeck yang menyusun disertasi tentang ”Sejarah dan Prasejarah Sulsel”. Selepas penelitian ini, sejumlah peneliti lainnya mengikutkan Budi dalam penelitian atau ekskavasi mereka.
Pada 1998-2000, Budi juga terlibat dalam Oxis Project, sebuah penelitian tentang kerajaan tua di Sulsel yang dilakukan di wilayah Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo. Penelitian ini tidak hanya menguak ihwal kerajaan tua, tetapi juga lokasi awal kerajaan.
Pada Kedatuan Luwu di Sulsel, misalnya, penelitian mengungkap fakta baru bahwa lokasi awal Kerajaan Luwu adalah Malangke, Luwu Utara. Temuan ini seketika mengubah pendapat yang melekat selama ini bahwa lokasi kerajaan adalah di Kota Palopo. Begitu pula pada kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo.
Penelitian demi penelitian maupun ekskavasi membawa Budi berkenalan dengan Adam Brumm, arkeolog dari Universitas Griffith, Australia. Perkenalan pada tahun 2005 kemudian berlanjut dengan memulai penelitian bersama pada 2011. Tujuannya, mencari manusia purba Sulawesi. Penelitian mereka menemukan lukisan tangan tertua dan perhiasan tertua.
Budi optimistis pencarian manusia purba akan berakhir dengan kabar baik. ”Berdasarkan jejak arkeologi dan geologi di wilayah ini, Sulawesi merupakan tempat transit sekaligus tujuan migrasi. Jika selama ini ada anggapan manusia purba di Jawa tak bermigrasi ke Sulawesi, sebenarnya tidak seperti itu. Tapi, itu akan terjawab jelas jika manusia purba Sulawesi kami temukan,” katanya.
Menurut Budi, hal ini sekaligus akan membalikkan fakta yang selama ini menyebut bahwa Indonesia adalah bangsa peniru. ”Bisa jadi jika kami menemukan manusia purba itu, Indonesia juga akan berbangga bahwa bangsa ini punya peradaban yang jauh lebih tua dibandingkan sejumlah negara lain,” katanya.
Kehilangan momen
Berkeliling dari satu lokasi penelitian dan ekskavasi ke lokasi lainnya, berpindah satu goa ke goa lainnya, diakui Budi membuatnya acap kali kehilangan banyak momen penting dalam perjalanan hidupnya. Pernah selama enam tahun ia hidup berpisah dengan keluarganya, saat Budi bertugas di Jakarta dan berkeliling mengikuti penelitian. Sementara istrinya yang bekerja di salah satu bank swasta di Makassar juga tak bisa pindah. Dia mengaku banyak kehilangan momen penting dalam fase pertumbuhan kedua anaknya.
Bagi Budi, penelitian arkeologi dan berbagai penggalian yang dilakukannya, betapapun acap dipandang sebelah mata, punya nilai penting. Setiap lapisan tanah yang dia gali dengan hati-hati adalah kotak hitam peradaban. Lapisan tanah ini menyimpan fakta dari masa ke masa tentang peradaban bangsa ini. Menguak masa lalu, juga memberi gambaran seperti apa leluhur kita.
”Kami menemukan banyak fakta yang menunjukkan bahwa pendahulu dan peradaban kita justru lebih maju dibandingkan dengan banyak negara lain. Setidaknya temuan seperti ini bisa mengangkat derajat bangsa,” ujarnya.
Menurut Budi, menggali masa lalu adalah salah satu cara menjawab masa depan dan menjelaskan banyak hal. ”Ingat bagaimana bangsa Aria memusuhi Polandia hanya karena temuan satu keping gerabah berlambang Nazi,” tambahnya. 
Itulah sebabnya, Budi belum lelah untuk terus melakukan penelitian dan menghabiskan banyak waktu dalam hidupnya, berpindah dari satu goa ke goa lain. Dia bahkan bertekad terus mencari hingga menemukan manusia purba Sulawesi yang jejaknya sudah mulai tampak.