Kota Makassar memiliki banyak arsip sejarah
yang tersimpan di dalam museum, badan arsip, dan perpustakan, bahkan
taman-taman baca di 30 lokasi/kelurahan. Pemerintah Kota Makassar setidaknya
mengelola tiga perpustakaan, yakni Perpustakaan Khusus Balai Kota, Perpustakaan
Umum Kota, dan Perpustakaan Keliling (2 unit). Selain itu, di kota Makassar
terdapat Perpustaakan Wilayah, Badan Arsip Nasional, Balai Pelestarian Sejarah
dan Arkeologi, serta sejumlah perpustakaan yang dikelola perguruan tinggi
negeri dan swasta. Kelembagaan arsip dan olah data ini sudah lebih dari
cukup menyediakan sumber data dan referensi sejarah Sulawes Selatan/Sulawesi.
Menurut para ahli, di antaranya yang sering
dikutip oleh Alwy Rachman, akademisi Universitas Hasanuddin bahwa sejarah
memiliki saudara kembar, yakni literasi. Bila sejarah mencatat peristiwa fakta
dan data, maka literasi mengisahkan suatu peristiwa secara naratif. Bila
diandaikan peristiwa sejarah mengukuhkan tokoh hero atau pahlawan dalam suatu periode,, maka
literasi mengawetkan nilai-nilai tradisi kepahlawanan dari generasi ke
generasi melalui kisah dari mulut ke telinga. Itulah sebabnya, literasi disimpan dan direproduksi oleh rakyat
kebanyakan..
Pendekatan literasi sejarah dapat mengungkap
berbagai kisah, bahkan mitos budaya yang masih dituturkan maupun dipraktikkan
oleh suatu komunitas. Tidak terkecuali masyarakat urban di dalam kampung-kota.
Sebagaimana para peneliti telah mencatat bahwa di kota Makassar masih
teridentifikasi sejumlah situs dan ritus budaya, di antaranya tradisi Paddeko,
Maudu/Maulidan, Ziarah Makam/, Nyekar, serta beberapa praktik seni tradisi
seperti Kondobuleng, Tanjidor, Gambus, Gaddong-gaddong, termasuk ritus
kelahiran (aqiqah) dengan tradisi Barasanji. Menariknya, situs dan ritus ini
berlangsung dalam kampung-loroing kota, suatu ruang hidup yang dewasa ini kian
menyempit tetapi padat akibat tekanan budaya perkotaan.
Kampung kota adalah peristilahan yang
digunakan oleh para urbanis atau pegiat budaya perkotaan untuk menegaskan suatu
ruang hidup yang informal, semacam lokus kehidupan sosial-budaya (sub-culture) masyarakat di
perkotaan yang berciri tradisional, etnisitas, kekerabatan, informalitas
sekaligus majemuk. Pada umumnya mereka masih menuturkan dan atau mempraktikkan
tradisi budaya etnis, kepercayaan maupun agamanya dalam momen tertentu. Hal ini
yang mendasari pengertian situs dan ritus.
Tidak banyak referensi yang menjabarkan
pengertian situs (site), tetapi penggunaannya identik atau merujuk pada tempat
bersejarah atau temuan arkeologis. Bahkan pengertian situs dewasa ini menjadi
moda publikasi informasi global, misalnya situs pada kata website. Demikian halnya ritus, yang
sehari-hari identik dengan kebiasaan
suatu kelompok masyarakat yang diungkapkan dalam bentuk upacara
budaya/agama (ritual).
Dalam pandangan umum, pun dalam wacana ilmiah, ritus dimengerti sebagai suatu tipe tindakan atau pun perilaku yang secara sadar dan baku merujuk
pada suatu aturan khusus, misalnya ziarah, yang membedakannya dengan perilaku sehari-hari. Praktik ritus atau ritual dikenal oleh anggota
budayanya sebagai sesuatu yang klasik,
normatif, dan esensial tentang relasi individu dengan diri sendiri, masyarakat, dunia, dan Ilahi.
(https://diosdias.wordpress.com/2007/02/20/ritus-mitos-simbol-dan-teologi-liturgi/).
Menurut Ronald L. Grimes dalam deskripsi buku Negotiating Rites (2014) (http://oxrit.twohornedbull.ca/volumes/negotiating-rites/), ritus atau ritual bersifat embeddedness, sudah tertanam di dalam sistim sosial suatu masyarakat, yang berperan dalam proses negosiasi terhadap konflik dalam masyarakat maupun antar-masyarakat. Contoh yang relevan dalam hal ini adalah ritual panas-gandong untuk perdamaian dalam konflik Ambon beberapa tahun lalu.
Menurut Ronald L. Grimes dalam deskripsi buku Negotiating Rites (2014) (http://oxrit.twohornedbull.ca/volumes/negotiating-rites/), ritus atau ritual bersifat embeddedness, sudah tertanam di dalam sistim sosial suatu masyarakat, yang berperan dalam proses negosiasi terhadap konflik dalam masyarakat maupun antar-masyarakat. Contoh yang relevan dalam hal ini adalah ritual panas-gandong untuk perdamaian dalam konflik Ambon beberapa tahun lalu.
Studi perihal situs maupun ritus ini
semakin berarti dalam konteks kampung-kota. Keduanya merupakan satu kesatuan
sistim budaya masyarakat yang telah tertanam (embended) ratusan bahkan ribuan
tahun lalu. Ibarat sejarah dan literasi, situs dan ritus bersaudara kembar. Banyak pengetahuan dan kearifan yang bisa menjelaskan asal-usul suatu kampung atau pun
identitas komunitas dalam kota, termasuk di dalamnya tokoh teladan dan pegiat
seni yang hidup di loorng-lorong kota. Sesuatu yang seringkali diabaikan dalam perencanaan
kebijakan pembangunan kota maupun pengembangan seni budaya (MN07).