ANWAR AKIB, ARKEOLOG KOMUNITAS
Balai Arkeologi (Balar) Sulawesi Selatan memberikan penghargaan kepada tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah daerah yang mengabdikan profesinya bagi pelstarian warisan budaya berupa cagar budaya dalam even APEX 2016 di kabupaten Soppeng. Salah seorang di antara tiga penerima penghargaan APEX 2016 adalah Anwar Akib. Laki-laki duda berusia 68 tahun yang biasa disapa pak Anwar berdomisili di Cabbenge kabupaten Soppeng. Lebih dari separuh usianya diabdikan pada pelestarian situs, khususnya di kawasan Lembah Walennae,.
Meskipun tidak sempat mengecap pendidikan tinggi, namun di kalangan arkeolog, pak Anwar sangat populer sebagai "ahlinya para ahli arkeolog" di Sulawesi Selatan. Penyebutan itu diungkapkan oleh seorang arkeolog-antropolog Unhas, DR. Iwan Sumnatri dalam suatu diskusi informasl. Sebagian keahliannya itu diperoleh secara otodidak, yakni meneliti, merawat dan menjaga situs-situs purbakala secara intensif di wilayahnya. Tidak lah berlebihan bila menyebut pak Anwar seorang profesional, bukan hanya tahu sebaran dan jenis benda cagar budaya di kabupaten Soppeng, tetapi juga ahli dalam mengekskavasi dan menentukan riwayat sebuah situs secara akurat.
Keahlian dan pengabdian pak Anwar boleh dibilang langka. Beliau adalah seorang 'arkeolog komunitas', yaitu orang desa/kampung yang mengabdi kepada masa depan peradaban masyarakatnya. Sungguh suatu cara hidup dan bekerja profesional, yang pantas diteladani oleh kaum muda, khususnya mahasiswa jurusan arkeologi.. Atas dasar itu,pula harian Kompas edisi 13 Oktober 2016 menulis profil beliau. Berikut ini kami kutip tulisan wartawan harian Kompas, Reny Sri Ayu yang berjudul Merawat Situs, Menjaga Peradaban.
Anwar Akib(68) bisa saja menjalani kehidupan
yang mapan sebagai pedagang tembakau. Namun, selama 43 tahun ini, ia justru
memilih menjadi juru pelihara situs bersejarah Soppeng, Sulawesi Selatan,
dengan penghasilan pas-pasan. Komitmen itu didorong rasa cintanya pada
benda-benda peninggalan sejarah.
Anwar bukan sembarang juru
pelihara alias jupel situs biasa. Untuk urusan menjaga situs, pegawai Balai
Purbakala (kini bernama Balai Pelestarian Cagar Budaya) di Soppeng, Sulawesi
Selatan, itu tidak pernah setengah hati. Ia kerap mengeluarkan uang pribadi
untuk merawat benda-benda kepurbakalaan. Padahal, gajinya tidak seberapa.
Ia juga pernah nekat
meminjam uang Rp 3,5 juta pada 1986 untuk membeli balok, semen, seng, dan kaca.
Bahan-bahan itu ia gunakan untuk membangun pondok sederhana tempat penyimpanan
sejumlah artefak dan benda-benda bekas ekskavasi. "Waktu itu saya sering mendampingi peneliti dan arkeolog yang
datang ke Cabbenge. Rumah saya selalu menjadi tempat singgah dan bermalam. Di
kolong rumah saya, benda dan artefak sisa ekskavasi ditumpuk," kata bapak
dua anak itu saat ditemui akhir September. "Akhirnya
saya memutuskan untuk menyimpan benda-benda itu di sebuah bangunan agar bisa
dilihat siapa saja. Sebagian saya bawa ke museum di Villa Yuliana di
Watansoppeng, ibu kota Soppeng," tutur Anwar yang tidak menghitung berapa
uang pribadinya yang keluar untuk menyelamatkan benda-benda itu.
Pondok
sederhana yang dibangun Anwar di jalan poros Soppeng-Bone itu belakangan
menjadi cikal bakal berdirinya Museum Prasejarah Calio di Cabbenge. Bangunan
itu dipugar menjadi permanen pada 1990. Tanah yang
menjadi lokasi museum adalah milik warga. Anwar dengan sabar membujuk dan
memberikan pengertian kepada pemilik tanah agar mau menukar tanahnya dengan
tanah milik Balai Purbakala. Lewat jalan berliku, Anwar berhasil meyakinkan si
pemilik tanah. Ia mau menukar tanahnya dengan tanah milik Balai Purbakala yang
letaknya jauh di dalam hutan. Anwar mau
bersusah payah seperti itu karena ia menganggap dirinya bukan sekadar penjaga
atau perawat benda kepurbakalaan, melainkan juga penjaga warisan bagi ilmu
pengetahuan.
Dikejar Warga
Di Soppeng,
puluhan situs menyebar di antara rumah dan kebun warga. Ini menjadi pekerjaan
berat bagi jupel dan peneliti lapangan. Mereka kerap berhadapan dengan pemilik
lahan yang sebagian besar tidak hirau arti penting peninggalan sejarah.
Padahal, Soppeng menjadi salah satu lokasi penelitian arkeologi penting dunia
karena sebagian warisan sejarah di wilayah ini berusia hingga 2,5 juta tahun
silam. Anwar bersama
peneliti pernah dikejar warga kampung yang membawa berbagai benda tajam. Mereka
marah saat mengetahui ia berupaya menggagalkan rencana pemasangan sebuah menara
komunikasi milik salah satu operator telepon seluler di sebuah situs penting.
Ia beberapa kali dipanggil ke DPRD dan pemerintah setempat terkait peristiwa
itu. Pada akhirnya, ia bisa meyakinkan banyak orang agar membatalkan
pembangunan menara tersebut.
Anwar beberapa
kali pasang badan di hadapan pemilik lahan saat peneliti dan arkeolog tak
mendapat akses ke lokasi penelitian. "Saya tak pernah pakai kekerasan.
Saya selalu bilang, apa yang dijaga dan semua yang diteliti bukan untuk
kepentingan saya pribadi atau para peneliti, melainkan kepentingan bersama
untuk anak cucu. Saya yakinkan tinggalan sejarah yang ada di lahan mereka
penting untuk ilmu pengetahuan. Alhamdulillah, semua berakhir baik,"
katanya.
Sejak 1968
Tamat dari
Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) di Parepare, ia langsung pulang kampung
karena situasi yang tak menentu pasca peristiwa 30 September 1965. Lalu, tahun
1968, ia membantu penelitian Paleolitik oleh arkeolog Robert van Heekeren di
Cabbenge. Anwar keluar masuk hutan menemani peneliti itu, tapi belum berpikir
bahwa kelak bakal bekerja menjadi jupel. Ketajaman
ingatan dan penguasaan hampir setiap jengkal wilayah membuat Anwar seperti peta
hidup yang menuntun peneliti pada jejak-jejak purba di Cabbenge. Walau tampak
sepele, peran Anwar sebagai penunjuk jalan menjadi sangat berarti bagi para
peneliti dan arkeolog.
"Kebanyakan
peneliti saat itu berasal dari luar Soppeng dan sebagian orang asing. Saat
Heekeren datang, tak ada orang kampung yang mau terlibat dan sekadar menemani.
Lalu, saya memberanikan diri. Saat saya temui dan melihat peta lokasi yang
ditunjukkan, saya langsung menyatakan bersedia. Lokasi-lokasi yang dicari
adalah tempat saya bermain dan mencari mangga saat kecil," katanya. Seusai membantu
Heekeren, Anwar terus terlibat dalam penelitian-penelitian selanjutnya yang
melibatkan pakar dari berbagai disiplin ilmu, seperti ahli biologi dan geologi.
Kelak, hasil penelitian mereka menjadi catatan penting terkuaknya awal
peradaban di Soppeng. Penelitian itu juga menemukan sejumlah fosil babi purba,
gajah kerdil, kura-kura raksasa, dan sejumlah artefak dan fosil penting lain.
Hal itu membuat
Soppeng menjadi kawasan yang nyaris tak pernah sepi dari kegiatan penelitian.
Dari semua penelitian itu, boleh dikata, hampir semuanya melibatkan Anwar.
Bahkan, ia selalu diajak serta dalam penelitian dan praktik mahasiswa arkeologi.
Berada dalam
tim peneliti, Anwar memanfaatkannya untuk menimba ilmu arkeologi. Baginya,
penelitian adalah sekolah lapangan yang membuatnya kian memahami sejarah dan
arkeologi. Apalagi, sejak tahun 1973, ia kemudian menjadi jupel benda-benda
peninggalan bersejarah di Soppeng. Banyak peneliti dan mahasiswa yang akhirnya
menjadikan lelaki itu seperti guru, bapak, dan teman diskusi ataupun debat. Komitmen Anwar
itu berjalan baik karena dukungan keluarga. Istrinya, Halawiah, sabar mengurus
para peneliti yang kerap bermarkas di rumahnya. Dekat dengan
para peneliti mendorong Anwar turut membantu penelitian. Ketika mendapati jalan
yang sulit di sejumlah situs, Anwar mencari akal. Dia mendekati
kelompok-kelompok petani hingga menjadi pengurus Kelompok Tani dan Nelayan
Andalan, Soppeng. Di setiap program pembangunan jalan tani, Anwar selalu
menyelip sejumlah ruas jalan berdekatan dengan situs.
"Akhirnya
banyak jalan sekitar situs yang kini mudah ditempuh, bahkan dengan kendaraan.
Ini memudahkan peneliti dan orang-orang yang mau mengunjungi situs. Kalau tidak
dengan cara seperti ini, sulit membangun akses ke situs. Tak ada anggaran
khusus untuk itu," katanya. Dedikasinya
menjaga dan merawat situs tak pernah berhenti meski dia tak menjadi kaya dari
pekerjaan itu. Bagi dia, kekayaannya adalah ilmu dan teman-teman yang dia
dapatkan dari aktivitas penelitian. Hingga di masa pensiun, Anwar masih menjaga
tinggalan sejarah di Soppeng dan tetap mendampingi para peneliti. Tak berlebihan
jika dalam Archaeological Partnerships Expose yang digelar Balai Arkeologi
Sulsel di Soppeng, akhir September, Anwar diberi penghargaan sebagai tokoh yang
berperan penting dalam pelestarian dan memberikan perhatian khusus pada cagar
budaya. Penghargaan yang sepadan untuk dedikasinya.
ANWAR AKIB
Lahir: Soppeng, 27 Maret 1948
Istri: Halawiah (Almarhumah)
Anak: Yusraeni dan Hairil
Pendidikan:
SR Salaonro
SMP Negeri 2 Parepare
SMEA Muhammadiyah Parepare
Penghargaan:Tokoh yang memberikan perhatian
khusus bagi cagar budaya dari Balai Arkeologi Sulawesi Selatan 2016.
(Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Oktober 2016,
di halaman 16 dengan judul
"Merawat Situs, Menjaga Peradaban").
Sumber:
http://cdn.assets.print.kompas.com/baca/sosok/2016/10/13/Merawat-Situs-Menjaga-Peradaban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar