Selasa, 15 November 2016

SITUS DAN RITUS KAMPUNG KOTA

Kota Makassar memiliki banyak arsip sejarah yang tersimpan di dalam museum, badan arsip, dan perpustakan, bahkan taman-taman baca di 30 lokasi/kelurahan. Pemerintah Kota Makassar setidaknya mengelola tiga perpustakaan, yakni Perpustakaan Khusus Balai Kota, Perpustakaan Umum Kota, dan Perpustakaan Keliling (2 unit). Selain itu, di kota Makassar terdapat Perpustaakan Wilayah, Badan Arsip Nasional, Balai Pelestarian Sejarah dan Arkeologi, serta sejumlah perpustakaan yang dikelola perguruan tinggi negeri dan swasta. Kelembagaan arsip dan olah data ini sudah lebih dari cukup menyediakan sumber data dan referensi sejarah Sulawes Selatan/Sulawesi.
Menurut para ahli, di antaranya yang sering dikutip oleh Alwy Rachman, akademisi Universitas Hasanuddin bahwa sejarah memiliki saudara kembar, yakni literasi. Bila sejarah mencatat peristiwa fakta dan data, maka literasi mengisahkan suatu peristiwa secara naratif. Bila diandaikan peristiwa sejarah mengukuhkan tokoh hero atau pahlawan dalam suatu periode,, maka literasi mengawetkan nilai-nilai tradisi kepahlawanan dari generasi ke generasi melalui kisah dari mulut ke telinga. Itulah sebabnya, literasi disimpan dan direproduksi oleh rakyat kebanyakan..
Pendekatan literasi sejarah dapat mengungkap berbagai kisah, bahkan mitos budaya yang masih dituturkan maupun dipraktikkan oleh suatu komunitas. Tidak terkecuali masyarakat urban di dalam kampung-kota. Sebagaimana para peneliti telah mencatat bahwa di kota Makassar masih teridentifikasi sejumlah situs dan ritus budaya, di antaranya tradisi Paddeko, Maudu/Maulidan, Ziarah Makam/, Nyekar, serta beberapa praktik seni tradisi seperti Kondobuleng, Tanjidor, Gambus, Gaddong-gaddong, termasuk ritus kelahiran (aqiqah) dengan tradisi Barasanji. Menariknya, situs dan ritus ini berlangsung dalam kampung-loroing kota, suatu ruang hidup yang dewasa ini kian menyempit tetapi padat akibat tekanan budaya perkotaan.
Kampung kota adalah peristilahan yang digunakan oleh para urbanis atau pegiat budaya perkotaan untuk menegaskan suatu ruang hidup yang informal, semacam lokus kehidupan sosial-budaya (sub-culture) masyarakat di perkotaan yang berciri tradisional, etnisitas, kekerabatan, informalitas sekaligus majemuk. Pada umumnya mereka masih menuturkan dan atau mempraktikkan tradisi budaya etnis, kepercayaan maupun agamanya dalam momen tertentu. Hal ini yang mendasari pengertian situs dan ritus.
Tidak banyak referensi yang menjabarkan pengertian situs (site), tetapi penggunaannya identik atau merujuk pada tempat bersejarah atau temuan arkeologis. Bahkan pengertian situs dewasa ini menjadi moda publikasi informasi global, misalnya situs pada kata website. Demikian halnya ritus, yang sehari-hari identik dengan kebiasaan suatu kelompok masyarakat yang diungkapkan dalam bentuk upacara budaya/agama (ritual). 
Dalam pandangan umum, pun dalam wacana ilmiah, ritus dimengerti sebagai suatu tipe tindakan atau pun perilaku yang secara sadar dan baku merujuk pada suatu aturan khusus, misalnya ziarah, yang membedakannya dengan perilaku sehari-hari. Praktik ritus atau ritual dikenal oleh anggota budayanya sebagai sesuatu yang klasik, normatif, dan esensial tentang relasi individu dengan diri sendiri, masyarakat, dunia, dan Ilahi.
(https://diosdias.wordpress.com/2007/02/20/ritus-mitos-simbol-dan-teologi-liturgi/)
Menurut Ronald L. Grimes dalam deskripsi buku Negotiating Rites (2014) (http://oxrit.twohornedbull.ca/volumes/negotiating-rites/), ritus atau ritual bersifat embeddedness, sudah tertanam di dalam sistim sosial suatu masyarakat, yang berperan dalam proses negosiasi terhadap konflik dalam masyarakat maupun antar-masyarakat. Contoh yang relevan dalam hal ini adalah ritual panas-gandong untuk perdamaian dalam konflik Ambon beberapa tahun lalu.
Studi perihal situs maupun ritus ini semakin berarti dalam konteks kampung-kota. Keduanya merupakan satu kesatuan sistim budaya masyarakat yang telah tertanam (embended) ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Ibarat sejarah dan literasi, situs dan ritus bersaudara kembar. Banyak pengetahuan dan kearifan yang bisa menjelaskan asal-usul suatu kampung atau pun identitas komunitas dalam kota, termasuk di dalamnya tokoh teladan dan pegiat seni yang hidup di loorng-lorong kota. Sesuatu yang seringkali diabaikan dalam perencanaan kebijakan pembangunan kota maupun pengembangan seni budaya (MN07).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar