Pengelolaan
Informasi dan Pengembangan Penelitian Arkeologi di Indonesia
Pada prinsipnya, masyarakat mengetahui dan
memahami sejarah dan budayanya yang diwariskan dari para leluhurnya. Namun
patut di sayangkan di wilayah Maluku, tak ada tradisi tulis yang berkembang.
Pengetahuan sejarah dan budaya masyarakat hanya diturunkan melalui tradisi
tutur, yang tentu saja menjadi sangat bias. Terkadang dalam satu wilayah desa
saja, terdapat perbedaan yang tajam diantara masyarakat dalam soal penuturan sejarah
dan budaya. Tentu saja arkeologi, terutama bidang arkeologi sejarah tak bisa
semena-mena, hanya menyandarkan diri pada beberapa sumber masyarakat saja. Hal ini untuk menghindari kepemihakkan pada satu
kelompok sumber informasi (masyaraka). Demikianlah maka, pencarian atau
penggalian informasi arkeologi bagi pengembangan penelitian arkeologi perlu
mengembangkan metode atau pendekatan penelitian arkeologi yang bersandar pada
sebanyak mungkin mampu mengakomodir informasi yang beragam dari masyarakat, dan
secara partisipatoris dan inklusif masyarakat terlibat dalam penelitian
arkeologi dalam hal ini disebut Arkeologi Komunitas (Comunity
Archaeologi), dalam implementasi penelitiannya saya sebut sebagai Peneltian
Arkeologi Berbasis Masyarakat (Comunity Based Arechaeological Research).
Canave Anung, Luz 1994. Partipatory
Action Reseach: A Celebration of People’s Knowledge for Social
Change; dalam Jim Fredman (ed) Development From Within. Essay
on Organizing Commnities for Self Sufficiency. Institue
of Primary Health Care Davao Medical School Foundation.
Kuntowijoyo, Dr 1982. Kegunaan Sejarah
Lisan dalam penulisan sejarah nasional sebagai
usaha menguingkap nilai masyarakat dalam wawasan sejarah budaya bangsa.
Dinamika Menuju Kebudayaan Nasional. Analisis Kebudayaan Tahun II/ Nomor 1.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebuah
Pendekatan untuk Wilayah Penelitian di Maluku[1]
Oleh Wuri
Handoko[2]
(Balai
Arkeologi Ambon)
Abstrak
Penelitian
sejarah dan budaya termasuk dalam hal ini penelitian arkeologi di Maluku paska
konflik, nampaknya menjadi persoalan yang cukup sensitiv. Berdasarkan
pengalaman dalam sebuah kegiatan penelitian, terdapat masyarakat dalam salah
satu wilayah penelitian mengungkapkan ketidaksetujuannya bahkan ’menolak’ hasil
penulisan sejarah di Maluku. Tentu hal ini tak ingin dialami dalam penelitian arkeologi.
Penulisan sejarah dan budaya masyarakat di wilayah Maluku beberapa diantaranya
dianggap mendahului pengetahuan masyarakat atau bahkan berbeda (bertolak
belakang) sama sekali dengan apa yang diketahui oleh masyarakat. Karenanya,
untuk menghindari hal itu, dalam penelitian arkeologi ke depan, khususnya di
Maluku, perlu mengembangkan sebuah pendekatan baru dalam penelitian arekologi
yang lebih berpihak ke masyarakat (komunitas). Pendekatan ini dimaksudkan untuk
mendekatkan jarak antara peneliti arkeologi dan hasil penelitiannnya dengan
masyarakat dan pengetahuan historis dan kulturnya.
Pada
intinya, melalui pendekatan ini, penelitian arkeologi terutama bidang arkeologi
sejarah, tak cukup hanya melalui metode wawancara saja dalam pencarian
informasi atau data awal, karena berpotensi memunculkan data/informasi yang
sangat bias. Sebaliknya, melalui pendekatan ini penelitian arkeologi
mengembangkan pencarian data melalui berbagai bentuk kegiatan kemasyarakatan
yang berguna selain menggali sebanyak mungkin informasi, juga saling
mengawinkan informasi yang beragam dan berbeda untuk menghasilkan titik temu
dan kesamaan guna ditindaklanjuti melalui penelitian arkeologi yang lebih
mendalam. Hasilnya, diharapkan tesis penelitian arkeologi dapat diterima semua
pihak (masyarakat) tanpa ada pihak yang merasa dipinggirkan. Selain itu juga
berperan untuk menggali aspirasi dan apresiasi masyarakat terhadap sejarah dan
budayanya, disamping tentu saja pendidikan dan penyadaran budaya. Dalam
operasionalnya, lembaga penelitian arkeologi di daerah (Maluku) dengan dukungan
(dana) pemerintah atau lembaga peneliti pusat mengembangkan berbagai program
kemasyarakatan seperti diskusi kampung ataupun lokakarya desa dan kegiatan
serupa soal penggalian informasi sejarah dan budaya masyarakat. Model pendekatan ini akan menampilkan sosok baru
peneliti arkeologi, selain sebagai seorang peneliti juga fasilitator dan
pendamping masyarakat. Penelitian arkeologi selain pengkajian untuk ilmu juga
berguna untuk melakukan advokasi budaya bagi masyarakat sebagai pemegang hak
historis dan kulturmya.
Kata kunci
: Informasi, Penelitian, Partisipatif,
Inklusif, Komunitas
A.
Pendahuluan
Penelitian
arkeologi tak bisa dipisahkan dari masyarakat. Hal ini karena sumberdaya
arkeologi baik situs maupun tinggalan arkeologi pada umumnya ditemukan justru di sekitar wilayah hunian masyarakat.
Bahkan sebagian besar sumberdaya arkeologi ditemukan di lingkup wilayah
masyarakat yang terkecil seperti dusun dan desa. Sumberdaya arkeologi tersebut
tak jarang masih memiliki korelasi dengan sejarah dan budaya masyarakat
setempat yang memiliki ciri lokal atau mempertahankan tradisi dan norma-norma
adat yang diwarisi dari leluhurnya. Masyarakat atau komunitas justru dan lebih
mengetahui keberadaan sumberdaya arkeologi tersebut, sebelum kehadiran peneliti
arkeologi. Selain itu masyarakat juga mengetahui latar belakang keberadaan
sumberdaya arkeologi yang ada berdasarkan pengetahuannya. Maka, tak jarang
masyarakat sangat mensakralkan sumberdaya arkeologi tersebut. Selain karena masih
berhubungan dengan sejarah dan budaya, juga mereka percaya bahwa sumberdaya
arkeologi itu diwariskan oleh para leluhurnya.
Oleh karena
itu, berdasarkan tradisi tutur seringkali keberadaan sumberdaya arkeologi juga
menjadi sumber informasi bagi pengetahuan masyarakat terhadap sejarah dan
kebudayaannya. Dengan demikian jelas, sumberdaya arkeologi tidak saja monopoli
bagi arkeologi untuk memperoleh pengetahuan masa lalu. Maka benar, sumberdaya
arkeologi adalah milik masyarakat luas selaku generasi penerus sehingga
pengetahuan masa lalu tidak saja pengetahuan bagi arkeologi tetapi juga hak
azasi setiap manusia (Cleere, 1989, Layton 1989 dan Gimsey 1972).
Tentu saja melihat fenomena ini arkeologi sebagai ilmu
yang khusus, terutama karena menyandarkan diri pada tinggalan budaya masa
lampau, perlu berhati-hati dalam penelitiannya. Prinsip kehati-hatian ini perlu
ditanamkan (peneliti) arkeologi sejak awal mulai dari proses penelitian hingga
pada perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi. Hal
ini dimaksudkan agar penelitian arkeologi tidak justru semakin menjauhkan dari
masyarakat. Dengan demikian prinsip kehati-hatian terutama difokuskan dalam
soal keberpihakkan pada komunitas atau masyarakat (bersifat populis).
Memang, arkeologi telah diakui sebagai ilmu yang mampu
meneropong kebudayaan masa lampau melalui benda-benda tinggalan manusia. Oleh
karenanya para peneliti arkeologi juga memiliki prinsip-prinsip ilmiah dalam
menjelaskan masa lalu melalui benda arkeologi. James Deetz (1976) misalnya menjelaskan
tiga tingkatan yang digunakan dalam penelitian arkeologi mulai dari obesrvasi
atau pengumpulan data, deskripsi atau pengolahan data dan eksplanasi atau
penjelasan data (Deetz, 1976). Lebih jauh lagi para arkeolog terkemuka juga
telah menguraikan teori atau dalil-dalil dan pengembangan metode yang banyak
dianut oleh para arkeolog di seluruh dunia. Pokoknya, dengan kaidah, teori atau
dalil dan metode ilmiah yang baku serta penerapan berbagai displin ilmu lainnya
seperti sosiologi, antropologi dan sebagainya, arkeologi telah menjadi ilmu
tersendiri yang mampu menjelaskan kebudayaan masa lampau dalam berbagai fokus
kajian dan pespektif keilmuannya.
Justru itu,
arkeologi diharapkan dapat memediasi perbedaan pengetahuan masyarakat pewaris
kebudayaan leluhurnya. Meski demikian, disamping peneliti dan ilmunya
(arkeologi) mampu mengetahui dan menggambarkan kebudayaan masa lampau,
informasi berdasarkan pengetahuan masyarakat tak bisa dipinggirkan begitu saja. Sekali lagi, pengetahuan masyarakat juga mesti diwadahi oleh (peneliti)
arkeologi.
Namun, antara peneliti arkeologi dan hasil penelitiannya
dengan masyarakat atas dasar pengetahuan historis dan kulturnya tak dapat
ditutupi, tetap berjarak. Sehingga dalam posisi ini tentu saja sulit bagi
masyarakat untuk menerima seutuhnya hasil penelitian arkeologi, sejarah dan
kebudayaannya. Masyarakat tentu sulit memahami kaidah, teori maupun terutama
metode pendekatan arkeologi dalam menjelaskan masa lampau kebudayaannya. Untuk
itu, sudah waktunya arkeologi mengevaluasi dalam mengembangkan metode
pendekatan penelitiannya.
Pendek kata, arkeologi harus mengembangkan metode
pendekatan penelitiannya.Selain menerapkan metode ilmiah yang selama ini dianut
dan hanya bisa dipraktekkan oleh ilmuannya, arkeologi perlu mengembangkan
metode yang bisa secara inklusif melibatkan masyarakat dalam penelitian
arkeologi. Antara metode ilmiah arkeologi dan metode yang bisa dilpraktekkan
masyarakat dapat diterapkan secara bersamaan dalam satu proses penelitian
arkeologi. Dengan pelibatan secara inklusif, masyarakat juga mampu mengevaluasi
pengetahuannya. Maka perbedaan pengetahuan atas sejarah dan kebudayaan antar
kelompok masyarakat selain dapat terwadahi juga dapat saling dipertemukan dan
masing-masing pihak bisa mengakui kebenarannya. Inilah yang penulis maksudkan
sebagai penerapan prinsip kehati-hatian dalam keberpihakkan terhadap
masyarakat.
Prinsip kehati-hatian yang berpihak kepada masyarakat
sesungguhnya telah digagas dan dirancang oleh para arkeolog baik itu arkeolog
luar maupun arkeolog Indonesia. Sebut saja konsepsi arkeolog publik yang
dipersamakan dengan Cultural Resouce Management (CRM)
menyangkut pengelolaan sumberdaya arkeologi. Konsepsi ini sesungguhnya sebuah
fokus arkeologi untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
arkeologi secara aktif. Ini adalah bentuk yang nyata dari prinsip kehati-hatian
yang diwujudkan dalam konsep keberpihakkan arkeologi terhadap masyarakat,
Namun patut disayangkan bentuk keberpihakkan arkeologi
terhadap masyarakat sejauh ini masih terbatas pada tahap pengelolaan arkeologi
saja. Tak dapat disangkal, ini belum beranjak pada praktek yang elitis. Hal ini
karena bentuk perencanaan dan pengelolaannya masih bersifat top down, yakni diinisiasi
oleh institusi penelitian dan instansi pemerintah yang memiliki kewenangan
mengelola sumberdaya arkeologi. Hal ini karena tidak melibatkan masyarakat
sejak awal hingga tahap perencanaan dan pengelolaan sumberdaya arkeologi. Bagi
penulis, prinsip keberpihakkan terhadap masyarakat dalam arkeologi tak cukup
hanya dalam tahap pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya arkeologi saja. Hal
ini mengingat seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, sejak awal penelitian
arkeologi tak bisa dipisahkan dan selalu bersentuhan dengan masyarakat atau
yang bermukim di sekitar wilayah penelitian arkeologi di lingkup terkecil
seperti desa atau dusun. Oleh karena itu penting diterapkan pendekatan
penelitian yang melibatkan partisipasi komunitas dalam penelitian arkeologi,
sehingga penelitian arkeologi merupakan penelitian yang inklusif — tidak
ekslusif—seperti praktek penelitian selama ini.
B.
Dialektika Budaya di Maluku: Isu Sensitif
Nampaknya gagasan pendekatan penelitian arkeologi di
Indonesia yang bersifat partisapatoris penting bahkan mutlak diterapkan di
Indonesia, terutama wilayah-wialyah penelitian yang masih sensitive dalam soal
perdebatan atas perbedaan sejarah dan budaya. Dihubungkan dengan lima tema
penelitian arkeologi Indonesia, nampaknya hal itu merupakan isu yang cukup
sensitif di Maluku.
Penelitian sejarah dan budaya termasuk dalam hal ini
penelitian arkeologi di Maluku paska konflik, nampaknya menjadi persoalan yang
cukup sensitiv. Sekelumit pengalaman saja saat pertama kali melakukan
penelitian arkeologi di wilayah Maluku, penulis sudah bisa menggambarkan bahwa
perdebatan soal perbedaan sejarah dan budaya di Maluku cukup kental. Hal ini
bisa dimaklumi, mengingat sumber pengetahuan masyarakat saat ini soal sejarah
dan budaya leluhur hanya diwarisi dari tradisi tutur. Tentu saja hal ini
menjadi bias, tergantung kepentingan dari subyek penutur itu sendiri.
Sebaliknya, cukup disayangkan tradisi tulis pada masyarakat di Maluku dapat
dikatakan tidak berkembang. Akibatnya pengetahuan masyarakat tentang sejarah
dan budaya masa lampau sangat beragam dan penuh dialektika (perdebatan).
Terkadang dalam satu wilayah desa saja, terdapat perbedaan yang tajam diantara
masyarakat dalam soal penuturan sejarah dan budaya. Dalam sebuah penelitian,
terdapat masyarakat dalam salah satu wilayah mengungkapkan ketidaksetujuannya
bahkan ’menolak’ hasil penulisan sejarah di Maluku. Tentu hal ini tak ingin
dialami dalam penelitian arkeologi. Penulisan sejarah dan budaya masyarakat di
wilayah Maluku beberapa diantaranya dianggap mendahului pengetahuan masyarakat
atau bahkan berbeda (bertolak belakang) sama sekali dengan apa yang diketahui
oleh masyarakat.
Tradisi lisan harus diakui banyak kelemahannya.
Kuntowijoyo (1982) menilai dalam tradisi lisan tidak termasuk
kesaksian mata yang merupakan data lisan, juga tidak termasuk rerasan masyarakat
meskipun lisan tetapi tidak ditularkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Tradisi lisan terbatas pada generasi masyarakt yang belum mengenal
tulisan. Memang, tradisi lisan bagaimanapun tetaplah sumbersejarah yang merekam
masa lampau. Berbeda denga tradisi lisan, sejarah lisan tidak didapatkan tetapi
dicari dengan kesengajaan. Penggalian sejarah dengan wawancara sudah lama
dikenal bahkan Herodotus pada abad ke 5 SM telah menggunakan saksi-saksi mata
dengan menanya silang mereka. Sejarah lisan memiliki sumbangan besar dalam
substansi penulisan sejarah; Pertama, bersifat kontemporer, memberikan kemungkinan
yang hampir tak terbatas untuk menggali sejarah dari para pelakunya; Kedua,
sejarah lsian dapat mencapai para pelaku sejarajh yang tidak disebutkan dalam
dokumen; Ketiga sejarah lisan memungkinkan perluasan masalah karena sejarah tak
lagi dibntasi hanya dengan dokumen. Dalam perluasan ruang lingkup telaah
sejarah, sejarah lisan berdiri sendiri pendekatan baru dalam sejarah seperti
sejarah keluarga, sejarah desa, tentulah membutuhkan sejarah lisan pada
waktunya. (Kuntowijoyo, 1982:69-71).
Namun demikian dalam pengembangan dan penggalian
informasi melalui sejarah lisan, tak cukup disandarkan pada wawancara. Meskipun
banyak menghimpun informasi, namun bisa sangat bias. Hal ini karena, para
pelaku sejarah tak ada lagi, dan dalam satu ruang sosial, terutama dalam
kelompok sosial yang masih mempertahankan tradisi lokalnya, semua pihak adalah
pelaku dan keturunan leluhur masing-masing, sehingga penelusuran informasi masa
lampau perlu mengembangkan metode pendekatan baru. Dalam hal ini, seterusnya
arkeologi diharapkan bisa menyusun kerangka sejarah budaya secara lebih
holistik, dan informasinya dapat mewadahi seluruh informasi dan apresiasi
masyarakat tentang sejarah dan budaya. Karenanya, dalam penelitian
arkeologi ke depan, khususnya di Maluku, perlu mengembangkan sebuah pendekatan
baru yang lebih berpihak kepada masyarakat (komunitas). Pendekatan ini
dimaksudkan untuk mendekatkan jarak antara peneliti arkeologi dan hasil
penelitiannnya dengan masyarakat dan pengetahuan historis dan kulturnya.
Pada prinsipnya,
masyarakat mengetahui dan memahami sejarah dan budayanya yang diwariskan dari
para leluhurnya. Hal ini juga berlaku terhadap tinggalan arkeologi yang
ditemukan di wilayah setempat.Tentu saja arkeologi, terutama bidang arkeologi
sejarah tak bisa semena-mena, hanya menyandarkan diri pada beberapa sumber
masyarakat saja. Hal ini untuk menghindari keberpihakkan
pada satu kelompok sumber informasi (masyarakat) saja.
Jika dihubungkan dengan lima tema penelitian arkeologi,
maka sangat tepat jika para peneliti arkeologi di Maluku mengevaluasi beberapa
metode atau pendekatan penelitiannya. Hal ini dimaksudkan agar hasil penelitian
tidak semakin menjauhkan masyarakat dengan pengetahuan sejarah dan budayanya
yang beragam.
C.
Arkeologi Komunitas: Penelitian Arkeologi Partisipatif dan Inklusif
Menyikapi persoalan tersebut, seperti yang telah penulis
kemukakan sebelumnya, maka pencarian dan penggalian informasi arkeologi perlu
mengedepankan prinsip kehati-hatian. Pencarian atau penggalian informasi
arkeologi bagi pengembangan penelitian arkeologi perlu mengembangkan metode
atau pendekatan penelitian arkeologi yang bersandar pada sebanyak mungkin
mengakomodir informasi yang beragam dari masyarakat, dan secara partisipatoris
dan inklusif melibatkan masyarakat dalam penelitian arkeologi (Arkeologi
Komunitas) yang
diterapkan melalui metode-metode yang berpihak pada kepentingan komunitas atau
penelitian arkeologi berbasis komunitas (Comunity Based Arechaeological
Research). Oleh
karena itu penulis menggunakan istilah arkeologi komunitas untuk membedakannya
dengan arkeologi publik. Jika arkeologi publik ditujukan pada peran serta
publik dalam arti luas tanpa batas ruang sosial dan pelibatannya lebih
dititikberatkan pada pengelolaan sumberdaya arkeologi, maka pengertian arkeologi komunitas adalah penelitian arkeologi yang
secara inklusif melibatkan partisipasi kelompok masyarakat atau kelompok sosial
budaya bersifat lokal di lingkup wilayah terkecil seperti dusun atau desa
dimana sumberdaya arkeologi berada. Selanjutnya dalam arkeologi komunitas
selain penelitian untuk menggali informasi juga menggali persepsi sekaligus
mewadahi aspirasi dan apresiasi masyarkat terhadap persoalan sumberdaya
arkeologi di wilayahnya, serta merumuskan bersama perencanaan dan pengelolaan
sumberdaya arekologi tersebut. Dengan demikian melalui pendekatan arkeologi
komunitas paradigma pembangunan yang top down tak berlaku lagi, sebaliknya
paradigma baru dimulai, yakni perencanaan (pembangunan) yang bersifat bottom up.
Pada intinya,
melalui pendekatan ini, penelitian arkeologi yang memfokuskan diri untuk
menelusuri sejarah dan kebudayaan (arkeologi sejarah), tak cukup hanya melalui
metode wawancara dalam pencarian informasi atau data awal, karena berpotensi memunculkan
data/informasi yang sangat bias. Sebaliknya, melalui pendekatan ini penelitian
arkeologi mengembangkan pencarian data melalui berbagai fasilitasi kegiatan
kemasyarakatan yang berguna selain menggali sebanyak mungkin informasi, juga
saling mengawinkan informasi yang beragam dan berbeda untuk menghasilkan titik temu dan
kesamaan guna ditindaklanjuti melalui penelitian arkeologi secara mendalam. Hasilnya, diharapkan tesis penelitian
arkeologi dapat diterima semua pihak (masyarakat) tanpa ada pihak yang merasa
dipinggirkan. Selain itu juga menggali aspirasi dan apresiasi masyarakat
terhadap sejarah dan budayanya, di samping pendidikan dan penyadaran budaya.
Dalam operasionalnya, lembaga penelitian arkeologi di daerah (Maluku) dengan
dukungan (dana) pemerintah dan lembaga penelitian pusat mengembangkan program
kemasyarakatan seperti diskusi kampung atau pun lokakarya desa dan kegiatan serupa soal penggalian informasi sejarah dan budaya
masyarakat. Model pendekatan ini akan menampilkan
sosok baru peneliti arkeologi, selain sebagai seorang peneliti juga fasilitator
dan pendamping masyarakat. Penelitian arkeologi selain pengkajian untuk ilmu
juga berguna untuk melakukan advokasi budaya bagi masyarakat sebagai pemegang
hak historis dan kulturmya. Maka jelas, melalui pendekatan arkeologi komunitas,
selain pengembangan penelitian arkeologi bersifat murni juga ditindaklajuti
melalui fungsi arkeologi sebagai ilmu terapan. Melalui pendekatan ini kedua
bidang garapan arkeologi (murni dan terapan) dapat sekaligus dilakukan.
Gagasan pelibatan masyarakat secara inklusif dalam
penelitian arkeologi sesungguhnya juga telah muncul sebelumnya. Robinson (1996) menawarkan metode Partisipatory
Action Reseach dalam arkeologi di Kanada (Robinson
1996 dalam Prasodjo,2004, hal 8- 9). Di Indoensia Cahjono Prasodjo (2000 dan
2004) misalnya telah menawarkan gagasan diterapkannya pendekatan penelitian
partisapatoris melalui metode PRA (Partipatory Rural Appraisal) seperti
yang digagas oleh Chamber (1986). PRA adalah pendekatan dalam
memahami keadaan masyarakat oleh masyarakat sendiri. Dengan demikian masyarakat
dilibatkan dalam kegiatan penelitian karena diyakini bahwa masyarakat sendiri
yang lebih mengetahui keadaannya. (Chamber 1986, Prasodjo 200). Sementara dalam
PAR ((Partisipatory Action Reseach) pelibatan masyarakat jauh lebih
dalam lagi atau bahkan masyarakat meneliti sendiri (Canave-Anung 1996, Prasodjo
2004). Di Indonesia, metode ini belum pernah dilakukan dan diakui pendekatan
ini mungkin akan mengalami berbagai kendala dalam penerapannya di masa yang
akan datang.
Tiga
pendekatan yang cenderung akan dipergunakan di masa datang.
1. Communiy
Organising, penguatan masyarakat dalam mengorganisasikan dirinya dalam
upaya pemberdayaan.
2. Pendekatan
Partisipatoris Penelitian dan pemberdayaan masyarakat yang berbasis partisipasi
selalu mengedepankan keterlibatan masyarakat dalam kegiatannya
3. Pendekatan Multidisplin. Pemberdayaan
masayarakat memiliki aspek multidimensional, sehingga untuk melakukannya perlu
didekati dengan multidisipliner agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat
tercapat secara utuh dan efektif. (Prasodjo, 2004:9).
Sejalan dengan itu Bambang Sulistyanto (2005) menawarkan
gagasan yang implementatif melalui metode Fokus Group Diskusian (FGD) dalam
penelitian arkeologi. Metode ini untuk lebih mendukung dalam penggalian
informasi melalui wawancara mendalam (indepth interview). Menurutnya metode
pengumpulan data atau informasi ini bukanlah hal yang baru, terutama pada
ilmu-ilmu sosial seperti antopologi, sosiologi dalam upaya membongkar
permasalahan seperti persepsi, sikap motivasi atau nilai-nilai suatu masyarakat
tertentu (Sulityanto, 2005:190).
Bagi penulis, beberapa gagasan tentang pendekatan
penelitian arkeologi tersebut sudah semestinya diterapkan dalam setiap atau
beberapa penelitian arkeologi di Indonesia. Bahkan untuk wilayah Maluku gagasan
itu mutlak diterapkan. Hanya saja, metode pendekatan seperti yang diungkapkan
oleh beberapa arkeolog Indonesia tersebut perlu dikembangkan penerapannya.
Tidak hanya terbatas untuk menggali persepsi masyarakat terhadap pengelolaan
sumberdaya arkeologi. Yang tak kalah pentingnya juga untuk menggali sebanyak
mungkin informasi atau data atas dasar pengetahuan masyarakat terhadap sejarah
dan budaya masa lampau. Dengan demikian, pendekatan tersebut, selain dapat
lebih efektif menjelaskan masalah penelitian arkeologi, juga mewadahi aspirasi
dan apresiasi masyarakat setempat dalam hal perencanaan dan pengelolaan
sumberdaya arkeologi di wilayahnya.
Yang menarik, konsep metode PRA yang ditawarkan Prasodjo
(2000 dan 2004) dalam penelitian arkeologi. Bagi penulis, metode ini tak hanya
bermanfaat sebagai pendekatan arkeologi untuk pemberdayaan masyarakat. Lebih
jauh lagi dalam pengembangan arkeologi murni, metode ini juga dapat
dikembangkan. Sedikit pengalaman penulis sewaktu masih bekerja di Yayasan
Sahabat Morowali, Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah menggambarkan bagaimana
metode ini sangat efektif. Sekitar tahun 2003, penulis waktu itu bertindak
sebagai fasilitator bagi diskusi kampung Masyarakat Adat Wana (MAW) di kawasan
hutan Cagar Alam Morowali melalui metode PRA. Melaui metode ini MAW mengkaji
permasalahan desa/komunalnya, karena mereka lebih mengetahui kondisi dan
potensi desanya, selanjutnya setelah mengkaji desa secara partisipatif, MAW
juga merumuskan perencanaan bagi penyelesaian masalah secara bersama (Handoko,
2003; 2005 :61). Melalui metode ini MAW tidak saja menyusun sejarah kampungnya,
bahkan bisa menggali potensi lahan dan pengembangannya untuk melanjutkan
hidupnya yang selama ini tergantung pada hutan. Jika hal ini ditarik dalam bidang penelitian
arkeologi, tentu saja hal ini menjadi cukup relevan.
Dalam salah
satu tahapan yang dilalui dalam metode PRA ini salah satu outputnya adalah sejarah kampung yang disusun atas pengetahuan masyarakat sendiri. Selain itu melalui metode ini sangat
mungkin untuk melihat potensi tinggalan arkeologi. Para peneliti arkeologi
bersama wakil masyarakat memanfaatkan metode transek dalam PRA untuk melihat
potensi-potensi lahan yang diduga terdapat tinggalan arkeologi.
Gagasan
penelitian arkeologi dengan konsepsi arkeologi komunitas seperti judul makalah
ini meliputi penerapan metode penelitian dari keseluruhan tahapan dan hasil
penelitian. Selain mengkaji soal sejarah dan budaya
masyarakat, juga menyangkut persoalan sumberdaya arkeologi hingga rumusan
perencanaan dan pengelolaan sumberdaya arkeologi menurut aspirasi dan apresiasi
masyarakat. Dalam penerapannya penelitian arkeologi menggali informasi melalui
berbagai kegiatan diskusi kampung dan lokakarya desa. Diskusi kampung dimaksudkan menggali informasi sejarah
budaya masyarakat berdasarkan pengetahuan historis dan kultur masyarakat yang
beragam. Mencari titik temu perbedaan informasi masyarakat dan sebagai bahan
tindaklanjut penelitian arkeologi lebih dalam. Salah satu hasil diskusi kampung
ini dapat tersusun sejarah masing-masing kampung berdasarkan pengalaman dan
tradisi tutur masyarakat. Pengungkapan sejarah kampung oleh masyarakat, tentu
saja memudahkan tindaklanjut penelitian arkeologi yang lebih mendalam. Sejarah
kampung ini merupakan informasi yang disusun oleh masyarakat sendiri yang dapat
menjadi data awal penelitian arkeologi untuk menelusuri dan merekonstruksi
sejarah dan budaya masyarakat, tanpa memunculkan perdebatan lagi. Hal ini
karena, masyarakat secara inklusif terlibat dan menyusun sendiri sejarah
budayanya atas pengetahuannya. Yang terpenting juga, penulisan sejarah kampung
hasil diskusi masyarakat telah mewadahi pengetahuan masyarakat.
Selain itu, diskusi kampung dengan metode PRA seperti
contoh diuraikan sebelumnya juga bisa meminimalisasi perbedaan dan bahkan bisa
menyamakan persepsi antar kelompok – kelompok masyarakat yang berbeda pandangan
(pengetahuan) terhadap sejarah dan budaya warisan masa lampau. Dalam metode
PRA, ada tahapan dimana fasilitator bersama masyarakat mengelompokkan
informasi-informasi dan mencari hubungan sebab akibat. Dalam metode itu
informasi yang paling banyak hubungan sebab akibatnya bisa menjadi informasi
prioritas. Dengan demikian silang pendapat dan informasi yang berkembang di
masyarakat karena pengetahuannya yang beragam, dapat saling dipertemukan dalam
diskusi kampung ini. Dalam penerapannya untuk penelitian arkeologi, memang
fasilitator (peneliti arkeologi) membutuhkan studi pustaka yang mendalam
tentang metode PRA ini.
Selanjutnya melalui diskusi kampung yang telah menggali
informasi sejarah dan budaya atas dasar pengetahuan masyarakat, tahapan
selanjutnya dapat dilakukan lokakarya
desa. Lokakarya desa ini dimaksudkan untuk menggali persepsi
masyarakat atas sumberdaya arkeologi yang terdapat di wilayahnya, merumuskan
persoalan-persoalan sumberdaya arkeologi serta menawarkan perencanaan untuk
pengelolaan sumberdaya arkeologi tersebut.
Dengan demikian, ada beberapa keutamaan yang dihasilkan
dari penerapan metode pendekatan arkeologi komunitas ini, antara lain :
1. Menghimpun lebih banyak informasi masyaraka
2. Menghimpun lebih banyak apresiasi dan aspirasi
masyarakat
3. Mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat terhadap
hak sejarah dan budayanya
4. Penelitian lanjutan melalui arkeologi lebih terarah
dan bisa dipertanggungjawabkan, sekaligus tak menafikkan salah satu pihak tanpa
mengesampingkan teori-teori ilmiahnya
5. Penelitian arkeologi dapat dilakukan dengan
menggabungkan antara metode ilmiah arkeologi dan metode pendekatan yang dapat
dilakukan sendiri oleh masyarakat. Hal ini dapat menjembatani antara peneliti
dan masyarakat dan pengetahuannya.
6. Melalui pendekatan ini dapat mempertemukan beragam
perspektif dalam masyarakat terhadap sejarah dan budayanya.
7. Melalui metode ini dapat digali gagasan masyarakat
berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya dalam merumuskan persoalan sumberdaya
arkeologi, serta perencanaan untuk penyelesaian masalah melalui pengelolaan
sumberdaya arkeologi yang terpadu.
8. Hal ini juga menjadi jalan menuju pemasyarakatan
arkeologi yang lebih mengakar. Publik memahami arkeologi, bersedia melestarikan
sumberdaya arkeologi dan memiliki perspektif dalam pengelolaan
sumberdaya budaya dan arkeologi. Masyarakat tak hanya menjadi obyek, tetapi
menjadi subyek utama dalam penelitian, perencanaan dan pengelolaan sumberdaya
arkeologi.
Demikianlah, gagasan arkeologi komunitas sesungguhnya
berawal dari keinginan untuk semakin mendekatkan peneliti arkeologi dengan
hasil penelitiannya dengan masyarakat dan pengetahuan sejarah dan budaya yang
diwarisi secara turun temurun. Di awal penulis telah gambarkan, budaya di
Maluku begitu beragam dan penuh dialektika, maka dengan arkeologi komunitas hal
ini dapat dijembatani. Mungkin dengan ini pula, harapan penulis bahwa
sumberdaya arkeologi sebagai media pendidikan arkeologi untuk merentang jalan
harmonisasi masyarakat di wilayah Maluku dapat terwujud. Selain itu, melalui
pendekatan ini diharapkan dialektika budaya yang terdapat dimasyarakat diharapkan
tidak semakin tajam yang bermuara pada arogansi identitas. Melalui pendekatan
ini terbuka pintu, tersedia ruang untuk mempertemukan silang pengetahuan
diantara masyarakat atau komunitas terhadap sejarah dan budayanya.
D.
Kesimpulan
Paradigma
penelitian arekologi dalam menyikapai dinamika masyarakat mesti berubah.
Masyarakat semakin cerdas memahami persoalan sejarah dan budayanya. Sehingga
peneliti arkeologi mesti lebih hati-hati dalam menuangkan tesis penelitiannya.
Kasus ketidaksetujuan masyarakat terutama komunitas yang masih mempertahankan
ciri lokal yakni tradisi dan norma-norma adat warisan leluhur bisa saja semakin
banyak. Oleh karena itu para peneliti tak bisa lagi hanya mengandalkan metode
ilmiah yang selama ini digunakan, terlebih lagi jika arogan bahwa hanya
peneliti arkeologi saja yang paling berhak melakukan peneltiian sumberdaya
budaya dan sumberdaya arkeologi.
Gagasan arkeologi komunitas bisa jadi memang jalan yang
paling moderat mempertemukan (peneliti) arkeologi dengan masyarakat atas
pengetahuan sejarah budayanya. Melalui arkeologi komunitas, pengetahuan
masyarakat yang beragam dapat saling dipertemukan agar dialektika budaya tidak
semakin tajam. Berbeda dengan arkeologi publik yang fokusnya pada pelibatan
masyarakat tanpa batas ruang sosial yang jelas dalam pengelolaan sumberdaya
arkeologi, arkeologi komunitas secara inklusif melibatkan partisipasi komunitas
di lingkup wilayah terkecil seperti desa atau dusun, mulai tahap penelitian
hingga perencanaan dan pengelolaan sumberdaya arkeologi. Hal ini mengingat,
terkadang justru komunitas itu sendiri yang menjadi korban pertama dari
pembangunan yang top down. Melalui
arkeologi komunitas, masyarakat dapat menawarkan gagasan atas dasar pengetahuan
dan pengalamannya dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
............................., 2004. Pemberdayaan
Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi. Disampaikan dalam Pelatihan
Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi Tingkat Dasar. Asisten Deputi Urusan Arkeologi
Nasional Bidang Sejarah dan Purbakala. Kemenetrian Pariwisata dan Kebudayaan.
Cleere, Henry F 1989. Introduction:
The Rationale of Archaelogical Management dalam Henry F Cleere (ed) Archaeological
Heritage Management in The Modern World. London .
Unwin-Hyman
Chambers, Robert 1996. PRA Participatory
Rural Apraisal, Memahami Desa Secara Partisipasi.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Deetz, James 1976. Invitation
To Archaeology. London .
Canbridge Univerity Press
Layton, Robert 1989. Introduction: Who needs the
Past, dalam Robert Layton (ed) Who need the past? London.Unwin Hyman.
Tim YSM, 2003. Perencanaan Partisipatif Cagar Alam
Morowali (CAM) dan Wilayah-Wilayah sekitarnya. Laporan Kegiatan Yayasan Sahabat
Morowali (YSM ) dukungan dana Departemen For International Development (DFID)
2003. (tidak terbit)
Handoko, Wuri 2005 Perencanaan Komunitas dalam buku Kembali
Pada Semangat Komunitas. Farid Gaban dkk (editor). Diterbitkan oleh
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Konsorsium Pendukung Sistem Hutan
Kerakyatan (KpSHK) Bogor.
………………......, 2005. Pendidikan Arkeologi, Merentang Jalan
Harmonisasi. Kapata Arkeologi. Jurnal Arkeologi Wilayah Maluku dan Maluku
Utara. Vol 1/ No. 1. Balai Arkeologi Ambon .
Prasodjo, Cahyono, 2000. “Pendekatan partisapatoris
dalam pengelolaan Sumberdaya Arkeologi dan kemungkinan penerapannya di Kawasan
Arekologis Gunung Kidul” Berkala Arkeologi Tahun XX Edisi No. 1 Mei 2000.
Sulistyanto, Bambang 2005. Penerapan Metode Focus
Group Discussion Dalam Penelitian Arkeologi Publik dalam Arkeologi
dari Lapangan ke Permasalahan. Edy
Sedyawati (editor). Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia .
Tjahyono Parasodjo 2004. Pemberdayaan Masyarakat
dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi. Disampaikan dalam Pelatihan Pengelolaan
Sumberdaya Arkeologi Tingkat Dasar. Asisten Deputy Urusan Arkeologi Nasional
Deputy Bidang Sejarah dan Purbakala. Kementrian kebudayaan dan Pariwisata. _________________________________________________________________________________
[2] Makalah
dipresentasikan pada Kegiatan Nasional Evaluasi hasil Penelitian Arkeologi
(EHPA) 2006
Sumber (diposting atas izin penulisnya):
http://dokumen.tips/documents/arkeologi-komunitas.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar