Senin, 25 Januari 2016

ARKEOLOGI KOMUNITAS

Pengelolaan Informasi dan Pengembangan Penelitian Arkeologi di Indonesia  
Sebuah Pendekatan untuk Wilayah Penelitian di Maluku[1]
Oleh Wuri Handoko[2]
(Balai Arkeologi Ambon)
Abstrak
Penelitian sejarah dan budaya termasuk dalam hal ini penelitian arkeologi di Maluku paska konflik, nampaknya menjadi persoalan yang cukup sensitiv. Berdasarkan pengalaman dalam sebuah kegiatan penelitian, terdapat masyarakat dalam salah satu wilayah penelitian mengungkapkan ketidaksetujuannya bahkan ’menolak’ hasil penulisan sejarah di Maluku. Tentu hal ini tak ingin dialami dalam penelitian arkeologi. Penulisan sejarah dan budaya masyarakat di wilayah Maluku beberapa diantaranya dianggap mendahului pengetahuan masyarakat atau bahkan berbeda (bertolak belakang) sama sekali dengan apa yang diketahui oleh masyarakat. Karenanya, untuk menghindari hal itu, dalam penelitian arkeologi ke depan, khususnya di Maluku, perlu mengembangkan sebuah pendekatan baru dalam penelitian arekologi yang lebih berpihak ke masyarakat (komunitas). Pendekatan ini dimaksudkan untuk mendekatkan jarak antara peneliti arkeologi dan hasil penelitiannnya dengan masyarakat dan pengetahuan historis dan kulturnya.

 Pada prinsipnya, masyarakat mengetahui dan memahami sejarah dan budayanya yang diwariskan dari para leluhurnya. Namun patut di sayangkan di wilayah Maluku, tak ada tradisi tulis yang berkembang. Pengetahuan sejarah dan budaya masyarakat hanya diturunkan melalui tradisi tutur, yang tentu saja menjadi sangat bias. Terkadang dalam satu wilayah desa saja, terdapat perbedaan yang tajam diantara masyarakat dalam soal penuturan sejarah dan budaya. Tentu saja arkeologi, terutama bidang arkeologi sejarah tak bisa semena-mena, hanya menyandarkan diri pada beberapa sumber masyarakat saja. Hal ini untuk menghindari kepemihakkan pada satu kelompok sumber informasi (masyaraka). Demikianlah maka, pencarian atau penggalian informasi arkeologi bagi pengembangan penelitian arkeologi perlu mengembangkan metode atau pendekatan penelitian arkeologi yang bersandar pada sebanyak mungkin mampu mengakomodir informasi yang beragam dari masyarakat, dan secara partisipatoris dan inklusif masyarakat terlibat dalam penelitian arkeologi dalam hal ini disebut  Arkeologi Komunitas (Comunity Archaeologi), dalam implementasi penelitiannya saya sebut sebagai Peneltian Arkeologi Berbasis Masyarakat (Comunity Based Arechaeological Research).
Pada intinya, melalui pendekatan ini, penelitian arkeologi terutama bidang arkeologi sejarah, tak cukup hanya melalui metode wawancara saja dalam pencarian informasi atau data awal, karena berpotensi memunculkan data/informasi yang sangat bias. Sebaliknya, melalui pendekatan ini penelitian arkeologi mengembangkan pencarian data melalui berbagai bentuk kegiatan kemasyarakatan yang berguna selain menggali sebanyak mungkin informasi, juga saling mengawinkan informasi yang beragam dan berbeda untuk menghasilkan titik temu dan kesamaan guna ditindaklanjuti melalui penelitian arkeologi yang lebih mendalam. Hasilnya, diharapkan tesis penelitian arkeologi dapat diterima semua pihak (masyarakat) tanpa ada pihak yang merasa dipinggirkan. Selain itu juga berperan untuk menggali aspirasi dan apresiasi masyarakat terhadap sejarah dan budayanya, disamping tentu saja pendidikan dan penyadaran budaya. Dalam operasionalnya, lembaga penelitian arkeologi di daerah (Maluku) dengan dukungan (dana) pemerintah atau lembaga peneliti pusat mengembangkan berbagai program kemasyarakatan seperti diskusi kampung ataupun lokakarya desa dan kegiatan serupa soal penggalian informasi sejarah dan budaya masyarakat. Model pendekatan ini akan menampilkan sosok baru peneliti arkeologi, selain sebagai seorang peneliti juga fasilitator dan pendamping masyarakat. Penelitian arkeologi selain pengkajian untuk ilmu juga berguna untuk melakukan advokasi budaya bagi masyarakat sebagai pemegang hak historis dan kulturmya. 
Kata kunci : Informasi, Penelitian, Partisipatif, Inklusif, Komunitas

A. Pendahuluan
Penelitian arkeologi tak bisa dipisahkan dari masyarakat. Hal ini karena sumberdaya arkeologi baik situs maupun tinggalan arkeologi pada umumnya ditemukan justru di sekitar wilayah hunian masyarakat. Bahkan sebagian besar sumberdaya arkeologi ditemukan di lingkup wilayah masyarakat yang terkecil seperti dusun dan desa. Sumberdaya arkeologi tersebut tak jarang masih memiliki korelasi dengan sejarah dan budaya masyarakat setempat yang memiliki ciri lokal atau mempertahankan tradisi dan norma-norma adat yang diwarisi dari leluhurnya. Masyarakat atau komunitas justru dan lebih mengetahui keberadaan sumberdaya arkeologi tersebut, sebelum kehadiran peneliti arkeologi. Selain itu masyarakat juga mengetahui latar belakang keberadaan sumberdaya arkeologi yang ada berdasarkan pengetahuannya. Maka, tak jarang masyarakat sangat mensakralkan sumberdaya arkeologi tersebut. Selain karena masih berhubungan dengan sejarah dan budaya, juga mereka percaya bahwa sumberdaya arkeologi itu diwariskan oleh para leluhurnya.
Oleh karena itu, berdasarkan tradisi tutur seringkali keberadaan sumberdaya arkeologi juga menjadi sumber informasi bagi pengetahuan masyarakat terhadap sejarah dan kebudayaannya. Dengan demikian jelas, sumberdaya arkeologi tidak saja monopoli bagi arkeologi untuk memperoleh pengetahuan masa lalu. Maka benar, sumberdaya arkeologi adalah milik masyarakat luas selaku generasi penerus sehingga pengetahuan masa lalu tidak saja pengetahuan bagi arkeologi tetapi juga hak azasi setiap manusia  (Cleere, 1989, Layton 1989 dan Gimsey 1972).   
Tentu saja melihat fenomena ini arkeologi sebagai ilmu yang khusus, terutama karena menyandarkan diri pada tinggalan budaya masa lampau, perlu berhati-hati dalam penelitiannya. Prinsip kehati-hatian ini perlu ditanamkan (peneliti) arkeologi sejak awal mulai dari proses penelitian hingga pada perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi.  Hal ini dimaksudkan agar penelitian arkeologi tidak justru semakin menjauhkan dari masyarakat. Dengan demikian prinsip kehati-hatian terutama difokuskan dalam soal keberpihakkan pada komunitas atau masyarakat (bersifat populis).
Memang, arkeologi telah diakui sebagai ilmu yang mampu meneropong kebudayaan masa lampau melalui benda-benda tinggalan manusia. Oleh karenanya para peneliti arkeologi juga memiliki prinsip-prinsip ilmiah dalam menjelaskan masa lalu melalui benda arkeologi. James Deetz (1976) misalnya menjelaskan tiga tingkatan yang digunakan dalam penelitian arkeologi mulai dari obesrvasi atau pengumpulan data, deskripsi atau pengolahan data dan eksplanasi atau penjelasan data (Deetz, 1976). Lebih jauh lagi para arkeolog terkemuka juga telah menguraikan teori atau dalil-dalil dan pengembangan metode yang banyak dianut oleh para arkeolog di seluruh dunia. Pokoknya, dengan kaidah, teori atau dalil dan metode ilmiah yang baku serta penerapan berbagai displin ilmu lainnya seperti sosiologi, antropologi dan sebagainya, arkeologi telah menjadi ilmu tersendiri yang mampu menjelaskan kebudayaan masa lampau dalam berbagai fokus kajian dan pespektif keilmuannya.
Justru itu, arkeologi diharapkan dapat memediasi perbedaan pengetahuan masyarakat pewaris kebudayaan leluhurnya. Meski demikian, disamping peneliti dan ilmunya (arkeologi) mampu mengetahui dan menggambarkan kebudayaan masa lampau, informasi berdasarkan pengetahuan masyarakat tak bisa dipinggirkan begitu saja. Sekali lagi, pengetahuan masyarakat juga mesti diwadahi oleh (peneliti) arkeologi.
Namun, antara peneliti arkeologi dan hasil penelitiannya dengan masyarakat atas dasar pengetahuan historis dan kulturnya tak dapat ditutupi, tetap berjarak. Sehingga dalam posisi ini tentu saja sulit bagi masyarakat untuk menerima seutuhnya hasil penelitian arkeologi, sejarah dan kebudayaannya. Masyarakat tentu sulit memahami kaidah, teori maupun terutama metode pendekatan arkeologi dalam menjelaskan masa lampau kebudayaannya. Untuk itu, sudah waktunya arkeologi mengevaluasi dalam mengembangkan metode pendekatan penelitiannya.
Pendek kata, arkeologi harus mengembangkan metode pendekatan penelitiannya.Selain menerapkan metode ilmiah yang selama ini dianut dan hanya bisa dipraktekkan oleh ilmuannya, arkeologi perlu mengembangkan metode yang bisa secara inklusif melibatkan masyarakat dalam penelitian arkeologi. Antara metode ilmiah arkeologi dan metode yang bisa dilpraktekkan masyarakat dapat diterapkan secara bersamaan dalam satu proses penelitian arkeologi. Dengan pelibatan secara inklusif, masyarakat juga mampu mengevaluasi pengetahuannya. Maka perbedaan pengetahuan atas sejarah dan kebudayaan antar kelompok masyarakat selain dapat terwadahi juga dapat saling dipertemukan dan masing-masing pihak bisa mengakui kebenarannya. Inilah yang penulis maksudkan sebagai penerapan prinsip kehati-hatian dalam keberpihakkan terhadap masyarakat.
Prinsip kehati-hatian yang berpihak kepada masyarakat sesungguhnya telah digagas dan dirancang oleh para arkeolog baik itu arkeolog luar maupun arkeolog Indonesia. Sebut saja konsepsi arkeolog publik yang dipersamakan dengan Cultural Resouce Management (CRM) menyangkut pengelolaan sumberdaya arkeologi. Konsepsi ini sesungguhnya sebuah fokus arkeologi untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi secara aktif. Ini adalah bentuk yang nyata dari prinsip kehati-hatian yang diwujudkan dalam konsep keberpihakkan arkeologi terhadap masyarakat, 
Namun patut disayangkan bentuk keberpihakkan arkeologi terhadap masyarakat sejauh ini masih terbatas pada tahap pengelolaan arkeologi saja. Tak dapat disangkal, ini belum beranjak pada praktek yang elitis. Hal ini karena bentuk perencanaan dan pengelolaannya masih bersifat top down, yakni diinisiasi oleh institusi penelitian dan instansi pemerintah yang memiliki kewenangan mengelola sumberdaya arkeologi. Hal ini karena tidak melibatkan masyarakat sejak awal hingga tahap perencanaan dan pengelolaan sumberdaya arkeologi. Bagi penulis, prinsip keberpihakkan terhadap masyarakat dalam arkeologi tak cukup hanya dalam tahap pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya arkeologi saja. Hal ini mengingat seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, sejak awal penelitian arkeologi tak bisa dipisahkan dan selalu bersentuhan dengan masyarakat atau yang bermukim di sekitar wilayah penelitian arkeologi di lingkup terkecil seperti desa atau dusun. Oleh karena itu penting diterapkan pendekatan penelitian yang melibatkan partisipasi komunitas dalam penelitian arkeologi, sehingga penelitian arkeologi merupakan penelitian yang inklusif — tidak ekslusif—seperti praktek penelitian selama ini.  
B. Dialektika Budaya di Maluku: Isu Sensitif
Nampaknya gagasan pendekatan penelitian arkeologi di Indonesia yang bersifat partisapatoris penting bahkan mutlak diterapkan di Indonesia, terutama wilayah-wialyah penelitian yang masih sensitive dalam soal perdebatan atas perbedaan sejarah dan budaya. Dihubungkan dengan lima tema penelitian arkeologi Indonesia, nampaknya hal itu merupakan isu yang cukup sensitif di Maluku.
Penelitian sejarah dan budaya termasuk dalam hal ini penelitian arkeologi di Maluku paska konflik, nampaknya menjadi persoalan yang cukup sensitiv. Sekelumit pengalaman saja saat pertama kali melakukan penelitian arkeologi di wilayah Maluku, penulis sudah bisa menggambarkan bahwa perdebatan soal perbedaan sejarah dan budaya di Maluku cukup kental. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat sumber pengetahuan masyarakat saat ini soal sejarah dan budaya leluhur hanya diwarisi dari tradisi tutur. Tentu saja hal ini menjadi bias, tergantung kepentingan dari subyek penutur itu sendiri. Sebaliknya, cukup disayangkan tradisi tulis pada masyarakat di Maluku dapat dikatakan tidak berkembang. Akibatnya pengetahuan masyarakat tentang sejarah dan budaya masa lampau sangat beragam dan penuh dialektika (perdebatan). Terkadang dalam satu wilayah desa saja, terdapat perbedaan yang tajam diantara masyarakat dalam soal penuturan sejarah dan budaya. Dalam sebuah penelitian, terdapat masyarakat dalam salah satu wilayah mengungkapkan ketidaksetujuannya bahkan ’menolak’ hasil penulisan sejarah di Maluku. Tentu hal ini tak ingin dialami dalam penelitian arkeologi. Penulisan sejarah dan budaya masyarakat di wilayah Maluku beberapa diantaranya dianggap mendahului pengetahuan masyarakat atau bahkan berbeda (bertolak belakang) sama sekali dengan apa yang diketahui oleh masyarakat.
Tradisi lisan harus diakui banyak kelemahannya. Kuntowijoyo (1982) menilai dalam tradisi lisan tidak termasuk kesaksian mata yang merupakan data lisan, juga tidak termasuk rerasan masyarakat meskipun lisan tetapi tidak ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan terbatas pada generasi masyarakt yang belum mengenal tulisan. Memang, tradisi lisan bagaimanapun tetaplah sumbersejarah yang merekam masa lampau. Berbeda denga tradisi lisan, sejarah lisan tidak didapatkan tetapi dicari dengan kesengajaan. Penggalian sejarah dengan wawancara sudah lama dikenal bahkan Herodotus pada abad ke 5 SM telah menggunakan saksi-saksi mata dengan menanya silang mereka. Sejarah lisan memiliki sumbangan besar dalam substansi penulisan sejarah; Pertama, bersifat kontemporer, memberikan kemungkinan yang hampir tak terbatas untuk menggali sejarah dari para pelakunya; Kedua, sejarah lsian dapat mencapai para pelaku sejarajh yang tidak disebutkan dalam dokumen; Ketiga sejarah lisan memungkinkan perluasan masalah karena sejarah tak lagi dibntasi hanya dengan dokumen. Dalam perluasan ruang lingkup telaah sejarah, sejarah lisan berdiri sendiri pendekatan baru dalam sejarah seperti sejarah keluarga, sejarah desa, tentulah membutuhkan sejarah lisan pada waktunya. (Kuntowijoyo, 1982:69-71).
Namun demikian dalam pengembangan dan penggalian informasi melalui sejarah lisan, tak cukup disandarkan pada wawancara. Meskipun banyak menghimpun informasi, namun bisa sangat bias. Hal ini karena, para pelaku sejarah tak ada lagi, dan dalam satu ruang sosial, terutama dalam kelompok sosial yang masih mempertahankan tradisi lokalnya, semua pihak adalah pelaku dan keturunan leluhur masing-masing, sehingga penelusuran informasi masa lampau perlu mengembangkan metode pendekatan baru. Dalam hal ini, seterusnya arkeologi diharapkan bisa menyusun kerangka sejarah budaya secara lebih holistik, dan informasinya dapat mewadahi seluruh informasi dan apresiasi masyarakat tentang sejarah dan budaya. Karenanya, dalam penelitian arkeologi ke depan, khususnya di Maluku, perlu mengembangkan sebuah pendekatan baru yang lebih berpihak kepada masyarakat (komunitas). Pendekatan ini dimaksudkan untuk mendekatkan jarak antara peneliti arkeologi dan hasil penelitiannnya dengan masyarakat dan pengetahuan historis dan kulturnya.
Pada prinsipnya, masyarakat mengetahui dan memahami sejarah dan budayanya yang diwariskan dari para leluhurnya. Hal ini juga berlaku terhadap tinggalan arkeologi yang ditemukan di wilayah setempat.Tentu saja arkeologi, terutama bidang arkeologi sejarah tak bisa semena-mena, hanya menyandarkan diri pada beberapa sumber masyarakat saja. Hal ini untuk menghindari keberpihakkan pada satu kelompok sumber informasi (masyarakat) saja.
Jika dihubungkan dengan lima tema penelitian arkeologi, maka sangat tepat jika para peneliti arkeologi di Maluku mengevaluasi beberapa metode atau pendekatan penelitiannya. Hal ini dimaksudkan agar hasil penelitian tidak semakin menjauhkan masyarakat dengan pengetahuan sejarah dan budayanya yang beragam.
C. Arkeologi Komunitas: Penelitian Arkeologi Partisipatif dan Inklusif
Menyikapi persoalan tersebut, seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya, maka pencarian dan penggalian informasi arkeologi perlu mengedepankan prinsip kehati-hatian. Pencarian atau penggalian informasi arkeologi bagi pengembangan penelitian arkeologi perlu mengembangkan metode atau pendekatan penelitian arkeologi yang bersandar pada sebanyak mungkin mengakomodir informasi yang beragam dari masyarakat, dan secara partisipatoris dan inklusif melibatkan masyarakat dalam penelitian arkeologi (Arkeologi Komunitas) yang diterapkan melalui metode-metode yang berpihak pada kepentingan komunitas atau penelitian arkeologi berbasis komunitas (Comunity Based Arechaeological Research). Oleh karena itu penulis menggunakan istilah arkeologi komunitas untuk membedakannya dengan arkeologi publik. Jika arkeologi publik ditujukan pada peran serta publik dalam arti luas tanpa batas ruang sosial dan pelibatannya lebih dititikberatkan pada pengelolaan sumberdaya arkeologi, maka pengertian arkeologi komunitas adalah penelitian arkeologi yang secara inklusif melibatkan partisipasi kelompok masyarakat atau kelompok sosial budaya bersifat lokal di lingkup wilayah terkecil seperti dusun atau desa dimana sumberdaya arkeologi berada. Selanjutnya dalam arkeologi komunitas selain penelitian untuk menggali informasi juga menggali persepsi sekaligus mewadahi aspirasi dan apresiasi masyarkat terhadap persoalan sumberdaya arkeologi di wilayahnya, serta merumuskan bersama perencanaan dan pengelolaan sumberdaya arekologi tersebut. Dengan demikian melalui pendekatan arkeologi komunitas paradigma pembangunan yang top down tak berlaku lagi, sebaliknya paradigma baru dimulai, yakni perencanaan (pembangunan) yang bersifat bottom up.
Pada intinya, melalui pendekatan ini, penelitian arkeologi yang memfokuskan diri untuk menelusuri sejarah dan kebudayaan (arkeologi sejarah), tak cukup hanya melalui metode wawancara dalam pencarian informasi atau data awal, karena berpotensi memunculkan data/informasi yang sangat bias. Sebaliknya, melalui pendekatan ini penelitian arkeologi mengembangkan pencarian data melalui berbagai fasilitasi kegiatan kemasyarakatan yang berguna selain menggali sebanyak mungkin informasi, juga saling mengawinkan informasi yang beragam dan berbeda untuk menghasilkan titik temu dan kesamaan guna ditindaklanjuti melalui penelitian arkeologi secara mendalam. Hasilnya, diharapkan tesis penelitian arkeologi dapat diterima semua pihak (masyarakat) tanpa ada pihak yang merasa dipinggirkan. Selain itu juga menggali aspirasi dan apresiasi masyarakat terhadap sejarah dan budayanya, di samping pendidikan dan penyadaran budaya. Dalam operasionalnya, lembaga penelitian arkeologi di daerah (Maluku) dengan dukungan (dana) pemerintah dan lembaga penelitian pusat mengembangkan program kemasyarakatan seperti diskusi kampung atau pun lokakarya desa dan kegiatan serupa soal penggalian informasi sejarah dan budaya masyarakat. Model pendekatan ini akan menampilkan sosok baru peneliti arkeologi, selain sebagai seorang peneliti juga fasilitator dan pendamping masyarakat. Penelitian arkeologi selain pengkajian untuk ilmu juga berguna untuk melakukan advokasi budaya bagi masyarakat sebagai pemegang hak historis dan kulturmya. Maka jelas, melalui pendekatan arkeologi komunitas, selain pengembangan penelitian arkeologi bersifat murni juga ditindaklajuti melalui fungsi arkeologi sebagai ilmu terapan. Melalui pendekatan ini kedua bidang garapan arkeologi (murni dan terapan) dapat sekaligus dilakukan.
Gagasan pelibatan masyarakat secara inklusif dalam penelitian arkeologi sesungguhnya juga telah muncul sebelumnya. Robinson (1996) menawarkan metode Partisipatory Action Reseach dalam arkeologi di Kanada (Robinson 1996 dalam Prasodjo,2004, hal 8- 9). Di Indoensia Cahjono Prasodjo (2000 dan 2004) misalnya telah menawarkan gagasan diterapkannya pendekatan penelitian partisapatoris melalui metode PRA (Partipatory Rural Appraisal) seperti yang digagas oleh Chamber (1986). PRA adalah pendekatan dalam memahami keadaan masyarakat oleh masyarakat sendiri. Dengan demikian masyarakat dilibatkan dalam kegiatan penelitian karena diyakini bahwa masyarakat sendiri yang lebih mengetahui keadaannya. (Chamber 1986, Prasodjo 200). Sementara dalam PAR ((Partisipatory Action Reseach) pelibatan masyarakat jauh lebih dalam lagi atau bahkan masyarakat meneliti sendiri (Canave-Anung 1996, Prasodjo 2004). Di Indonesia, metode ini belum pernah dilakukan dan diakui pendekatan ini mungkin akan mengalami berbagai kendala dalam penerapannya di masa yang akan datang.
Tiga pendekatan yang cenderung akan dipergunakan di masa datang.
1. Communiy Organising, penguatan masyarakat dalam mengorganisasikan dirinya dalam upaya pemberdayaan.
2. Pendekatan Partisipatoris Penelitian dan pemberdayaan masyarakat yang berbasis partisipasi selalu mengedepankan keterlibatan masyarakat dalam kegiatannya 
3. Pendekatan  Multidisplin. Pemberdayaan masayarakat memiliki aspek multidimensional, sehingga untuk melakukannya perlu didekati dengan multidisipliner agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat tercapat secara utuh dan efektif. (Prasodjo, 2004:9).
Sejalan dengan itu Bambang Sulistyanto (2005) menawarkan gagasan yang implementatif melalui metode Fokus Group Diskusian (FGD) dalam penelitian arkeologi. Metode ini untuk lebih mendukung dalam penggalian informasi melalui wawancara mendalam (indepth interview). Menurutnya metode pengumpulan data atau informasi ini bukanlah hal yang baru, terutama pada ilmu-ilmu sosial seperti antopologi, sosiologi dalam upaya membongkar permasalahan seperti persepsi, sikap motivasi atau nilai-nilai suatu masyarakat tertentu (Sulityanto, 2005:190).
Bagi penulis, beberapa gagasan tentang pendekatan penelitian arkeologi tersebut sudah semestinya diterapkan dalam setiap atau beberapa penelitian arkeologi di Indonesia. Bahkan untuk wilayah Maluku gagasan itu mutlak diterapkan. Hanya saja, metode pendekatan seperti yang diungkapkan oleh beberapa arkeolog Indonesia tersebut perlu dikembangkan penerapannya. Tidak hanya terbatas untuk menggali persepsi masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya arkeologi. Yang tak kalah pentingnya juga untuk menggali sebanyak mungkin informasi atau data atas dasar pengetahuan masyarakat terhadap sejarah dan budaya masa lampau. Dengan demikian, pendekatan tersebut, selain dapat lebih efektif menjelaskan masalah penelitian arkeologi, juga mewadahi aspirasi dan apresiasi masyarakat setempat dalam hal perencanaan dan pengelolaan sumberdaya arkeologi di wilayahnya.
Yang menarik, konsep metode PRA yang ditawarkan Prasodjo (2000 dan 2004) dalam penelitian arkeologi. Bagi penulis, metode ini tak hanya bermanfaat sebagai pendekatan arkeologi untuk pemberdayaan masyarakat. Lebih jauh lagi dalam pengembangan arkeologi murni, metode ini juga dapat dikembangkan. Sedikit pengalaman penulis sewaktu masih bekerja di Yayasan Sahabat Morowali, Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah menggambarkan bagaimana metode ini sangat efektif. Sekitar tahun 2003, penulis waktu itu bertindak sebagai fasilitator bagi diskusi kampung Masyarakat Adat Wana (MAW) di kawasan hutan Cagar Alam Morowali melalui metode PRA. Melaui metode ini MAW mengkaji permasalahan desa/komunalnya, karena mereka lebih mengetahui kondisi dan potensi desanya, selanjutnya setelah mengkaji desa secara partisipatif, MAW juga merumuskan perencanaan bagi penyelesaian masalah secara bersama (Handoko, 2003; 2005 :61). Melalui metode ini MAW tidak saja menyusun sejarah kampungnya, bahkan bisa menggali potensi lahan dan pengembangannya untuk melanjutkan hidupnya yang selama ini tergantung pada hutan. Jika hal ini ditarik dalam bidang penelitian arkeologi, tentu saja hal ini menjadi cukup relevan.
Dalam salah satu tahapan yang dilalui dalam metode PRA ini salah satu outputnya adalah sejarah kampung yang disusun atas pengetahuan masyarakat sendiri.  Selain itu melalui metode ini sangat mungkin untuk melihat potensi tinggalan arkeologi. Para peneliti arkeologi bersama wakil masyarakat memanfaatkan metode transek  dalam PRA untuk melihat potensi-potensi lahan yang diduga terdapat tinggalan arkeologi.
Gagasan penelitian arkeologi dengan konsepsi arkeologi komunitas seperti judul makalah ini meliputi penerapan metode penelitian dari keseluruhan tahapan dan hasil penelitian. Selain mengkaji soal sejarah dan budaya masyarakat, juga menyangkut persoalan sumberdaya arkeologi hingga rumusan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya arkeologi menurut aspirasi dan apresiasi masyarakat. Dalam penerapannya penelitian arkeologi menggali informasi melalui berbagai kegiatan diskusi kampung dan lokakarya desa. Diskusi kampung dimaksudkan menggali informasi sejarah budaya masyarakat berdasarkan pengetahuan historis dan kultur masyarakat yang beragam. Mencari titik temu perbedaan informasi masyarakat dan sebagai bahan tindaklanjut penelitian arkeologi lebih dalam. Salah satu hasil diskusi kampung ini dapat tersusun sejarah masing-masing kampung berdasarkan pengalaman dan tradisi tutur masyarakat. Pengungkapan sejarah kampung oleh masyarakat, tentu saja memudahkan tindaklanjut penelitian arkeologi yang lebih mendalam. Sejarah kampung ini merupakan informasi yang disusun oleh masyarakat sendiri yang dapat menjadi data awal penelitian arkeologi untuk menelusuri dan merekonstruksi sejarah dan budaya masyarakat, tanpa memunculkan perdebatan lagi. Hal ini karena, masyarakat secara inklusif terlibat dan menyusun sendiri sejarah budayanya atas pengetahuannya. Yang terpenting juga, penulisan sejarah kampung hasil diskusi masyarakat  telah mewadahi pengetahuan masyarakat.  
Selain itu, diskusi kampung dengan metode PRA seperti contoh diuraikan sebelumnya juga bisa meminimalisasi perbedaan dan bahkan bisa menyamakan persepsi antar kelompok – kelompok masyarakat yang berbeda pandangan (pengetahuan) terhadap sejarah dan budaya warisan masa lampau. Dalam metode PRA, ada tahapan dimana fasilitator bersama masyarakat mengelompokkan informasi-informasi dan mencari hubungan sebab akibat. Dalam metode itu informasi yang paling banyak hubungan sebab akibatnya bisa menjadi informasi prioritas. Dengan demikian silang pendapat dan informasi yang berkembang di masyarakat karena pengetahuannya yang beragam, dapat saling dipertemukan dalam diskusi kampung ini. Dalam penerapannya untuk penelitian arkeologi, memang fasilitator (peneliti arkeologi) membutuhkan studi pustaka yang mendalam tentang metode PRA ini.
Selanjutnya melalui diskusi kampung yang telah menggali informasi sejarah dan budaya atas dasar pengetahuan masyarakat, tahapan selanjutnya dapat dilakukan lokakarya desa.  Lokakarya desa ini dimaksudkan untuk menggali persepsi masyarakat atas sumberdaya arkeologi yang terdapat di wilayahnya, merumuskan persoalan-persoalan sumberdaya arkeologi serta menawarkan perencanaan untuk pengelolaan sumberdaya arkeologi tersebut. 
Dengan demikian, ada beberapa keutamaan yang dihasilkan dari penerapan metode pendekatan arkeologi komunitas ini, antara lain : 
1. Menghimpun lebih banyak informasi masyaraka
2. Menghimpun lebih banyak apresiasi dan aspirasi masyarakat
3. Mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat terhadap hak sejarah dan budayanya
4. Penelitian lanjutan melalui arkeologi lebih terarah dan bisa dipertanggungjawabkan, sekaligus tak menafikkan salah satu pihak tanpa mengesampingkan teori-teori ilmiahnya
5. Penelitian arkeologi dapat dilakukan dengan menggabungkan antara metode ilmiah arkeologi dan metode pendekatan yang dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat. Hal ini dapat menjembatani antara peneliti dan masyarakat dan pengetahuannya.
6. Melalui pendekatan ini dapat mempertemukan beragam perspektif dalam masyarakat terhadap sejarah dan budayanya.   
7. Melalui metode ini dapat digali gagasan masyarakat berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya dalam merumuskan persoalan sumberdaya arkeologi, serta perencanaan untuk penyelesaian masalah melalui pengelolaan sumberdaya arkeologi yang terpadu.
8. Hal ini juga menjadi jalan menuju pemasyarakatan arkeologi yang lebih mengakar. Publik memahami arkeologi, bersedia melestarikan sumberdaya arkeologi dan memiliki perspektif dalam pengelolaan sumberdaya budaya dan arkeologi. Masyarakat tak hanya menjadi obyek, tetapi menjadi subyek utama dalam penelitian, perencanaan dan pengelolaan sumberdaya arkeologi.
Demikianlah, gagasan arkeologi komunitas sesungguhnya berawal dari keinginan untuk semakin mendekatkan peneliti arkeologi dengan hasil penelitiannya dengan masyarakat dan pengetahuan sejarah dan budaya yang diwarisi secara turun temurun. Di awal penulis telah gambarkan, budaya di Maluku begitu beragam dan penuh dialektika, maka dengan arkeologi komunitas hal ini dapat dijembatani. Mungkin dengan ini pula, harapan penulis bahwa sumberdaya arkeologi sebagai media pendidikan arkeologi untuk merentang jalan harmonisasi masyarakat di wilayah Maluku dapat terwujud. Selain itu, melalui pendekatan ini diharapkan dialektika budaya yang terdapat dimasyarakat diharapkan tidak semakin tajam yang bermuara pada arogansi identitas. Melalui pendekatan ini terbuka pintu, tersedia ruang untuk mempertemukan silang pengetahuan diantara masyarakat atau komunitas terhadap sejarah dan budayanya.  
D. Kesimpulan
Paradigma penelitian arekologi dalam menyikapai dinamika masyarakat mesti berubah. Masyarakat semakin cerdas memahami persoalan sejarah dan budayanya. Sehingga peneliti arkeologi mesti lebih hati-hati dalam menuangkan tesis penelitiannya. Kasus ketidaksetujuan masyarakat terutama komunitas yang masih mempertahankan ciri lokal yakni tradisi dan norma-norma adat warisan leluhur bisa saja semakin banyak. Oleh karena itu para peneliti tak bisa lagi hanya mengandalkan metode ilmiah yang selama ini digunakan, terlebih lagi jika arogan bahwa hanya peneliti arkeologi saja yang paling berhak melakukan peneltiian sumberdaya budaya dan sumberdaya arkeologi.   
Gagasan arkeologi komunitas bisa jadi memang jalan yang paling moderat mempertemukan (peneliti) arkeologi dengan masyarakat atas pengetahuan sejarah budayanya. Melalui arkeologi komunitas, pengetahuan masyarakat yang beragam dapat saling dipertemukan agar dialektika budaya tidak semakin tajam. Berbeda dengan arkeologi publik yang fokusnya pada pelibatan masyarakat tanpa batas ruang sosial yang jelas dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi, arkeologi komunitas secara inklusif melibatkan partisipasi komunitas di lingkup wilayah terkecil seperti desa atau dusun, mulai tahap penelitian hingga perencanaan dan pengelolaan sumberdaya arkeologi. Hal ini mengingat, terkadang justru komunitas itu sendiri yang menjadi korban pertama dari pembangunan yang top down. Melalui arkeologi komunitas, masyarakat dapat menawarkan gagasan atas dasar pengetahuan dan pengalamannya dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Canave Anung, Luz 1994. Partipatory Action ReseachA Celebration of People’s Knowledge for Social Change; dalam Jim  Fredman (ed) Development From Within. Essay on Organizing Commnities for Self Sufficiency. Institue of Primary Health Care Davao Medical School Foundation. 
............................., 2004. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi. Disampaikan dalam Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi Tingkat Dasar. Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional Bidang Sejarah dan Purbakala. Kemenetrian Pariwisata dan Kebudayaan.
Cleere, Henry F 1989.  Introduction: The Rationale of Archaelogical Management dalam Henry F Cleere (ed) Archaeological Heritage Management in The Modern WorldLondon. Unwin-Hyman
Chambers, Robert 1996. PRA Participatory Rural Apraisal, Memahami Desa Secara Partisipasi.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Deetz, James 1976.  Invitation To ArchaeologyLondon. Canbridge Univerity Press
Layton, Robert 1989. Introduction: Who needs the Past, dalam Robert Layton (ed) Who need the past? London.Unwin Hyman.
Tim YSM, 2003. Perencanaan Partisipatif Cagar Alam Morowali (CAM) dan Wilayah-Wilayah sekitarnya. Laporan Kegiatan Yayasan Sahabat Morowali (YSM ) dukungan dana Departemen For International Development (DFID) 2003. (tidak terbit)
Handoko, Wuri 2005  Perencanaan Komunitas dalam buku Kembali Pada Semangat Komunitas. Farid Gaban dkk (editor). Diterbitkan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) Bogor.
………………......, 2005. Pendidikan Arkeologi, Merentang Jalan Harmonisasi. Kapata Arkeologi. Jurnal Arkeologi Wilayah Maluku dan Maluku Utara. Vol 1/ No. 1. Balai Arkeologi Ambon
Kuntowijoyo, Dr 1982.  Kegunaan Sejarah Lisan dalam penulisan sejarah nasional sebagai usaha menguingkap nilai  masyarakat dalam wawasan sejarah budaya bangsa. Dinamika Menuju Kebudayaan Nasional. Analisis Kebudayaan Tahun II/ Nomor 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
Prasodjo, Cahyono, 2000.  “Pendekatan partisapatoris dalam pengelolaan Sumberdaya Arkeologi dan kemungkinan penerapannya di Kawasan Arekologis Gunung Kidul” Berkala Arkeologi Tahun XX Edisi No. 1 Mei 2000.
Sulistyanto, Bambang 2005. Penerapan Metode Focus Group Discussion Dalam Penelitian Arkeologi Publik dalam Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan. Edy Sedyawati (editor). Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Tjahyono Parasodjo 2004.  Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi. Disampaikan dalam Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi Tingkat Dasar. Asisten Deputy Urusan Arkeologi Nasional Deputy Bidang Sejarah dan Purbakala. Kementrian kebudayaan dan Pariwisata. _________________________________________________________________________________
[1] Staf Peneliti Balai Arkeologi Ambon 
[2] Makalah dipresentasikan pada Kegiatan Nasional Evaluasi hasil Penelitian Arkeologi (EHPA) 2006
Sumber (diposting atas izin penulisnya): 
http://dokumen.tips/documents/arkeologi-komunitas.html.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar