Sabtu, 30 Januari 2016

PRINSIP KUNCI PENELITIAN PARTISIPATORIS (PRA)

PRA singkatan dari Participatory Rural Appraisal atau penelitian yang partisipatoris berbasis masyarakat kampung; suatu metode penggalian dan pendokumentasian informasi yang dilakukan oleh masyarakat untuk merancang tindakan pemecahan masalah. PRA merupakan salah satu varian dalam riset aksi (action research) untuk perubahan (transformasi) sosial. Sebagai suatu alternatif dari model yang lama (konvensional), PRA mengutamakan peran masyarakat sebagai subjek penggalian dan pendokumentasian informasi lapang. Para ahli atau peneliti akademis diposisikan senbagai orang luar, yang harus mengintegrasikan pengalamannya ke dalam komunitas. Peran utama peneliti akademis ini adalah enumerator sekaligus fasilitator yang memiliki visi dan tujuan yang sama dengan komunitas, yaitu melakukan transfromasi sosial. Dengan begitu sebuah hasil penelitian akan menguntungkan (memihak) komunitas, yang berarti pula memecahkan persoalan nyata masyarakat. Di sisi lain, pihak luar mendapat pengetahuan baru dari masyarakat, dan berkontribusi dalam pemecahan persoalan kemasyarakatan.
Suatu pernyataan yang lazim terungkap bahwa penelitian akademis betrsifat ilmiah dan bebas dari kepentingan atau tidak memihak alias netral dari kenyataan objektif. Pada saat yang sama, para ilmuan sosial dewasa ini semakin menyadari bahwa pendekatan akademis dengan jargon ilmiah semakin melanggengkan kekuasaan. Peneltian ilmiah ini telah menjauhkan hasil penelitiannya (kebenaran ilmiah) dari masyarakat pemilik objek penelitian. Dengan kata lain, masyarakat tidak menerima manfaat langsung dari hasil peneltian, dan peneliti tidak berkontribusi dalam pemecahan masalah komunitas. Hasil-hasil penelitiannya menjadi dokumen yang tertutup, hanya dikonsumsi oleh kalangan terbatas. Kebanyakan hasil-hasil peneltian itu menjadi dasar perencanaan pembangunan pemerintah maupun swasta, yang justru tidak tepat sasaran, bahkan memarjinalisasi masyarakat dari sumberdaya alamnya.
Pertanyaannya kemudian, apakah riset sosial yang partisipatoris non-ilmiah? Penjelasan atas pertanyaan ini bergantung pada sisi pandang ilmuan atau pelakunya. Para ilmuan atau peneliti riset-riset aksi partisipatoris, termasuk PRA seperti Psulo Freire, Ivan Illich, dan Mansour Fakih bersama para pegiat pengorganisasian komunitas telah lama merintis bangunan teori transformasi sosial sebagai alternatif dari kebuntuan penelitian akademis. Hasil-hasil penelitian mereka telah diakui sebagai karya ilmiah di bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora konremporer, Sehingga tidak ada lagi monopoli klaim ilmiah. Trend pemikiran sosiologi kontemporer adalah membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan perangkap kemiskinan. Ilmu pengetahuan diproduksi untuk memecahkan persoalan kontemporer seperti konflik komunal, korupsi, patologi sosial, kemiskinan struktural, wabah virus yang mematikan, bencana ekologis, dsb. Ilmuan sosial dewasa ini, juga perguruan tinggi semakin menyadari pentingnya meletakkan masyarakat sebagai subjek perubahan sosial dalam konteks pembangunan.
Jika diandaikan PRA sebagai metode dalam penelitian arkeologi, maka asumsi yang harus dibangun adalah masyarakat lokal (kampung) sebagai pemilik yang sah atas sumberdaya arkeologi dan ekologi, baik dalam proses eksplorasi maupun konservasinya. Program pelestaruan dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi harus lah sejalan dengan program pemberdayaan atau pun pelembagaan kearifan dan pengetahuan lokal. Keduanya pun ibarat dua sisi mata-uang.
Menurut para ahli dan pegiat riset aksi partisipatoris, di antaranya Wardah Hafidz dari UPC-Jerami Indonesia, PRA memiliki lima prinsip kunci. Kelima prinsip ini merupakan panduan moral-intelektual bagi seorang peneliti, sebagai berikut:
  1. Partisipasi: masyarakat lokal menjadi mitra sekaligus pelaku utama dalam pengumpulan data dan analisa
  2. Fleksibilitas: tidak menggunakan metodologi yang distandarisasi (standardized methodology), metodologi disesuaikan dengan tujuan, sumber daya yang ada, keahlian, dan waktu
  3. Kerja Tim (Team Work): kerja tim antara masyarakat lokal dan praktisi pembangunan, lelaki dan perempuan, keterlibatan berbagai disiplin ilmu menjadi penting didalam PRA
  4. Optimal: efisien dalam penggunaan waktu dan biaya dan memanfaatkan beragam peluang yang ada sebaik mungkin.
  5. Keingintahuan: tidak bersikap serba tahu sebaliknya perlu mengembangkan sikap ingin tahu.
  6. Sistematis: mengembangkan sistem yang mendukung validitas dan reliabilitas melalui misalnya stratified sampling dan cross-checking
Kelima prinsip kunci dari PRA di atas merupakan dasar dari berbagai kegiatan PRA apapun tujuan dan maksudnya. PRA sangat membutuhkan partisipasi masyarakat yang menjadi subjek karena metode yang dikembangkan didesain untuk memampukan masyarakat lokal berpartisipasi, tidak hanya menjadi sumber informasi (seperti misalnya dalam survei). Masyarakat lokal menjadi mitra dari tim PRA dalam mengumpulkan dan menganalisa informasi. Di sinilah teknik visual memiliki peran dimana masyarakat yang buta huruf pun bisa sepenuhnya berpartisipasi.
Karena tidak ada cetak biru dari kegiatan PRA, teknik-teknik yang dipilih dan bagaimana berbagai teknik tersebut dipakai akan disesuaikan dengan konteks proyek atau program pembangunan yang akan dilaksanakan dan sumber daya yang tersedia. Secara umum, PRA lebih baik dilaksanakan oleh tim yang beranggotakan masyarakat lokal (berbicara bahasa lokal) dengan beberapa peneliti (outsiders), representasi yang memadai dari perempuan, dan bauran ahli-ahli sektoral dan ilmuwan sosial sesuai dengan topik yang dipilih. Tim menggunakan waktu yang cukup di masyarakat tidak hanya untuk mengumpulkan informasi tetapi juga analisa di lapangan (in-the-field analysis) dan perencanaan awal (initial planning).
Mengingat data yang dikumpulkan dari PRA umumnya kurang kondusif untuk analisa statistik (karena sebagian besar bersifat kualitatif dan ukuran sampelnya relatif kecil), beberapa cara alternatif telah dikembangkan untuk memastikan validitas dan reliabilitas dari temuan. Cara tersebut meliputi sampling berdasar stratifikasi masyarakat baik oleh lokasi geografis ataupun kesejahteraan relatif, dan cross-checking, yaitu menggunakan sejumlah teknik untuk menginvestigasi pandangan pada satu topik tertentu (termasuk melalui pertemuan komunitas untuk mendiskusikan temuan dan mengoreksi inkonsistensi), (Dg. Situju) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar