Senin, 08 Agustus 2016

Kampanye Penyelamatan Situs Melalui Pentas Musik

Kondisi aktual yang dihadapi Balai Arkeologi dewasa ini adalah bagaimana mewujudkan hasil-hasil penelitian dan pengembangan sumberdaya arkeologi di daerah menjadi berkualitas, berdayasaing, berdayaguna, dan berorientasi pada pembangunan karakter bangsa. Visi ini yang mendorong Balai Arkeologi mengembangkan kemitraan dan prioritas kegiatan yang apresiatif, sambil berperan sebagai katalisator dan fasilitator dalam pemanfaatan situs secara berkelanjutan.
Ada tiga isu atau agenda strategis yang dianggap relevan dengan usaha mewujudkan visi tersebut, yaitu; (1) Penguatan identitas budaya lokal melalui kegiatan pendokumentasian, pengkajian dan publikasi hasil-hasil riset; (2) Peningkatan apresiasi publik terhadap kawasan situs, dalam hal ini situs purba Lembah Walanae sebagai identitas budaya lokal sekaligus warisan peradaban nusantara; (3) Peningkatan partisipasi masyarakat, khususnya guru dan pelajar sekolah dalam kegiatan ekspose maupun kampanye pengembangan dan pemanfaatan kawasan situs Walanae, dan situs-situs lainnya di Sulawesi Selatan.
Salah satu bentuk kegiatan yang dapat mengekspos kemitraan arkeologi (Archeological Partnership Expose) adalah sosialisasi dan mengkampanyekan hasil-hasil penelitian situs purbakala di Lembah Walanae kabupaten Soppeng, dan situs-situs lainnya di Sulawesi Selatan melalui pagelaran seni. Ekspose ini akan melibatkan guru dan pelajar dalam suatu pertunjukan seni musik, yakni cipta lagu dan nyanyi.
Pelibatan pemuda dan pelajar dalam ekspose kemitraan arkeologi menjadi sangat penting, mengingat kaum muda adalah ahli waris budaya bangsa. Diperkirakan pada tahun 2020-2040 bonus demografi di Indonesia ditandai dengan membengkaknya prosentase kaum muda, terutama mereka yang lahir pasca reformasi 1998. Dewasa ini sekitar 42% penduduk Indonesia berusia muda berkisar 17 – 29 tahun. Itulah sebabnya, potensi kaum muda hari ini akan menentukan masa depan kebudayaan dan kebangsaan Indonesia di masa depan.
Situasi yang dialami kaum muda dewasa ini adalah era globalisasi yang ditandai dengan keterbukaan informasi dan kebebasan berekspresi. Satu sisi hal tersebut merupakan peluang bagi pengembangan apresiasi dan kreativitas. Di sisi lain merupakan tantangan terhadap entitas budaya bangsa, khususnya identitas kaum muda di daerah-daerah. Apakah karakter budaya kaum muda di masa depan masih berpijak pada nilai-nilai budaya lokalnya. Persoalan ini yang hendak diekspos dalam Kemitraan Arkeologi dengan cara melibatkan guru dan pelajar dalam kegiatan apresiatif. Sejak dini, pemuda dan pelajar diberi ruang untuk mengekspresikan sikap kepedulian dan ide-ide kreatif mereka tentang asal-usul kebudayaan, dan situs purba di daerahnya.
Situs purba Lembah Walanae adalah salah satu warisan peradaban jaman Pleistosen, sekitar 25 juta sampai 100.000 tahun yang lalu. Suatu masa dimana permukaan bumi Sulawesi Selatan masih merupakan daratan yang menyatu dengan Sulawesi Utara, pulau Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Kawasan sungai Walanae dahulu adalah permukaan air laut. Pada 700.000 tahun lalu, air laut itu surut, yang kemudian mengubah kawasan Walanae menjadi daratan yang dihuni berbagai fauna. Sejak tahun 1947, para peneliti arkeologi telah menemukan benda-benda purbakala berupa peralatan batu kapak, pahat, dan yang sangat menarik adalah fosil binatang vertebrata, yakni Gajah Purba berukuran kecil (Stegodon Celebensis) yang khas Sulawesi, Babi Rusa (Celebochoerus Heekerent), juga Kura-kura. Warisan purba ini tersebar di sepanjang aliran sungai Walanae, tepatnya di desa Jampu, Talepu, Lenrang, Berru/Calio, Marale, Paroto, Lakibong, Kecce, Lonrong kab. Soppeng; Sompe di kabupaten Wajo, dan Tanrung di kabupaten Bone.
Kekayaan situs purba, keanekaragaman flora dan fauna, serta kearifan budaya tradisi masyarakatnya merupakan satu kesatuan ekosistem di kawasan Lembah Walanae. Dengan menyadari kekayaan ini, semakin penting artinya memediasi peradaban masa lalu ke masa kini. Selain sebagai cagar budaya, situs Lembah Walanae saat ini memerlukan perlindungan habitat flora dan fauna (konservasi dan preservasi) dari pengrusakan. Sehingga potensi situs purbakala maupun budaya tradisi masyarakat di kawasan Lembah Walanae dapat dimanfaatkan dan diekspos secara massif. Salah satunya adalah menggelar perlombaan seni musik kreatif, khususnya bagi pemuda-pelajar sekolah menengah atas atau yang sederajat. Hal ini dilandasi oleh suatu visi arkeologi yang berdayaguna dan berorientasi pada penguatan karakter atau identitas budaya generasi muda masa kini.
Seni musik merupakan salah satu bentuk ekspresi peradaban purba. Diperkirakan pada 40.000 - 45.000 tahun lalu manusia purba (homo sapiens) telah meggunakan peralatan musik tiup, yakni flute atau suling. Hal dikuatkan dengan temuan para ahli di Jerman. Peralatan musik jenis flute ini terbuat dari tulang buruk dan gading gajah di gua Geissenkloesterle, Jerman,  dan menjadi bukti awal pendudukan Eropa oleh manusia modern, Homo Sapiens.(Antara News, 27 Mei 2012). Menurut para ahli, alat musik menjadi media ritual, juga sebagai sarana memperluas teritori manusia purba.
Seni pertunjukan musik merupakan media ekspresi budaya popular (popular-culture) yang akrab dengan kehidupan sehari-hari kaum muda. Melalui perlombaan seni, kaum muda pelajar sekolah di kabupaten Soppeng dan sekitarnya dapat mengapresiasi asal-usul budaya lokalnya, dan mengekspresikan sikap kepeduliannya terhadap perlindungan kawasan situs purba Lembah Walanae secara autentik, juga kreatif.##

Tidak ada komentar:

Posting Komentar