Kondisi aktual yang
dihadapi Balai Arkeologi dewasa ini adalah bagaimana mewujudkan hasil-hasil penelitian
dan pengembangan sumberdaya arkeologi di daerah menjadi berkualitas, berdayasaing, berdayaguna,
dan berorientasi pada pembangunan karakter bangsa. Visi ini yang mendorong
Balai Arkeologi mengembangkan kemitraan dan prioritas kegiatan yang apresiatif,
sambil berperan sebagai katalisator dan fasilitator dalam pemanfaatan situs
secara berkelanjutan.
Ada tiga isu atau agenda
strategis yang dianggap relevan dengan usaha mewujudkan visi tersebut, yaitu;
(1) Penguatan identitas budaya lokal melalui kegiatan pendokumentasian,
pengkajian dan publikasi hasil-hasil riset; (2) Peningkatan apresiasi publik
terhadap kawasan situs, dalam hal ini situs purba Lembah Walanae sebagai
identitas budaya lokal sekaligus warisan peradaban nusantara; (3) Peningkatan
partisipasi masyarakat, khususnya guru dan pelajar sekolah dalam kegiatan ekspose
maupun kampanye pengembangan dan pemanfaatan kawasan situs Walanae, dan
situs-situs lainnya di Sulawesi Selatan.
Salah satu bentuk kegiatan
yang dapat mengekspos kemitraan arkeologi (Archeological Partnership Expose) adalah
sosialisasi dan mengkampanyekan hasil-hasil penelitian situs purbakala di Lembah
Walanae kabupaten Soppeng, dan situs-situs lainnya di Sulawesi Selatan melalui
pagelaran seni. Ekspose ini akan melibatkan guru dan pelajar dalam suatu pertunjukan
seni musik, yakni cipta lagu dan nyanyi.
Pelibatan pemuda dan
pelajar dalam ekspose kemitraan arkeologi menjadi sangat penting, mengingat
kaum muda adalah ahli waris budaya bangsa. Diperkirakan pada tahun 2020-2040 bonus
demografi di Indonesia ditandai dengan membengkaknya prosentase kaum muda,
terutama mereka yang lahir pasca reformasi 1998. Dewasa ini sekitar 42%
penduduk Indonesia berusia muda berkisar 17 – 29 tahun. Itulah sebabnya,
potensi kaum muda hari ini akan menentukan masa depan kebudayaan dan kebangsaan
Indonesia di masa depan.
Situasi yang dialami kaum
muda dewasa ini adalah era globalisasi yang ditandai dengan keterbukaan
informasi dan kebebasan berekspresi. Satu sisi hal tersebut merupakan peluang
bagi pengembangan apresiasi dan kreativitas. Di sisi lain merupakan tantangan
terhadap entitas budaya bangsa, khususnya identitas kaum muda di daerah-daerah.
Apakah karakter budaya kaum muda di masa depan masih berpijak pada nilai-nilai budaya
lokalnya. Persoalan ini yang hendak diekspos dalam Kemitraan Arkeologi dengan
cara melibatkan guru dan pelajar dalam kegiatan apresiatif. Sejak dini, pemuda
dan pelajar diberi ruang untuk mengekspresikan sikap kepedulian dan ide-ide kreatif
mereka tentang asal-usul kebudayaan, dan situs purba di daerahnya.
Situs purba Lembah Walanae
adalah salah satu warisan peradaban jaman Pleistosen, sekitar 25 juta sampai
100.000 tahun yang lalu. Suatu masa dimana permukaan bumi Sulawesi Selatan
masih merupakan daratan yang menyatu dengan Sulawesi Utara, pulau Kalimantan,
dan Nusa Tenggara. Kawasan sungai Walanae dahulu adalah permukaan air laut.
Pada 700.000 tahun lalu, air laut itu surut, yang kemudian mengubah kawasan
Walanae menjadi daratan yang dihuni berbagai fauna. Sejak tahun 1947, para
peneliti arkeologi telah menemukan benda-benda purbakala berupa peralatan batu
kapak, pahat, dan yang sangat menarik adalah fosil binatang vertebrata, yakni
Gajah Purba berukuran kecil (Stegodon Celebensis) yang khas Sulawesi, Babi Rusa
(Celebochoerus Heekerent), juga Kura-kura. Warisan purba ini tersebar di
sepanjang aliran sungai Walanae, tepatnya di desa Jampu, Talepu, Lenrang,
Berru/Calio, Marale, Paroto, Lakibong, Kecce, Lonrong kab. Soppeng; Sompe di
kabupaten Wajo, dan Tanrung di kabupaten Bone.
Kekayaan situs purba,
keanekaragaman flora dan fauna, serta kearifan budaya tradisi masyarakatnya
merupakan satu kesatuan ekosistem di kawasan Lembah Walanae. Dengan menyadari
kekayaan ini, semakin penting artinya memediasi peradaban masa lalu ke masa kini.
Selain sebagai cagar budaya, situs Lembah Walanae saat ini memerlukan
perlindungan habitat flora dan fauna (konservasi dan preservasi) dari
pengrusakan. Sehingga potensi situs purbakala maupun budaya tradisi masyarakat
di kawasan Lembah Walanae dapat dimanfaatkan dan diekspos secara massif. Salah
satunya adalah menggelar perlombaan seni musik kreatif, khususnya bagi
pemuda-pelajar sekolah menengah atas atau yang sederajat. Hal ini dilandasi
oleh suatu visi arkeologi yang berdayaguna dan berorientasi pada penguatan
karakter atau identitas budaya generasi muda masa kini.
Seni musik merupakan salah satu bentuk ekspresi peradaban purba. Diperkirakan pada 40.000 - 45.000 tahun lalu manusia purba (homo sapiens) telah meggunakan peralatan musik tiup, yakni flute atau suling. Hal dikuatkan dengan temuan para ahli di Jerman. Peralatan musik jenis flute ini terbuat dari tulang buruk dan gading gajah di gua Geissenkloesterle, Jerman, dan menjadi bukti awal pendudukan Eropa oleh manusia modern, Homo Sapiens.(Antara News, 27 Mei 2012). Menurut para ahli, alat musik menjadi media ritual, juga sebagai sarana memperluas teritori manusia purba.
Seni musik merupakan salah satu bentuk ekspresi peradaban purba. Diperkirakan pada 40.000 - 45.000 tahun lalu manusia purba (homo sapiens) telah meggunakan peralatan musik tiup, yakni flute atau suling. Hal dikuatkan dengan temuan para ahli di Jerman. Peralatan musik jenis flute ini terbuat dari tulang buruk dan gading gajah di gua Geissenkloesterle, Jerman, dan menjadi bukti awal pendudukan Eropa oleh manusia modern, Homo Sapiens.(Antara News, 27 Mei 2012). Menurut para ahli, alat musik menjadi media ritual, juga sebagai sarana memperluas teritori manusia purba.
Seni pertunjukan musik
merupakan media ekspresi budaya popular (popular-culture) yang akrab dengan kehidupan
sehari-hari kaum muda. Melalui perlombaan seni, kaum muda pelajar sekolah di kabupaten
Soppeng dan sekitarnya dapat mengapresiasi asal-usul budaya lokalnya, dan mengekspresikan
sikap kepeduliannya terhadap perlindungan kawasan situs purba Lembah Walanae secara
autentik, juga kreatif.##
Tidak ada komentar:
Posting Komentar