Senin, 13 November 2017

SOSOK ARKEOLOG BALAR SULSEL


Drs. Budianto Hakim, arkeolog dan peneliti warisan budaya Indonesia di Makassar adalah pribadi yang 'flamboyan''. Saya mengenal pak Budi, begitu panggilannya, dalam dua even pagelaran kemitraan  Balai Arkeologi Sulawesi Selatan (Balar Sulsel) dengan pemerintah kabupaten, yakni APEX 2016 di Watansoppeng dan APEX 2017 di Bantaeng. Penampilan 'nyantai', mencerminkan pengalamannya yang matang di lapangan. Sekira 20 tahun sudah dia bekerja sebagai peneliti di Balai Arkeologi (Balar) Sulsel.
Hari itu, 15 November 2017 dalam diskusi Bedah Buku Butta Toa di Cafe Garasiku Bantaeng, alumni jurusan Arkeologi Unhas (1984/5) ini dengan bangga memperlihatkan profilnya dalam rubrik Sosok di Harian Kompas, edisi 12 November 2017. Setahuku, dia adalah sosok arkeolog Sulsel ketiga, setelah arkeolog Unhas Drs. Iwan Sumantri, Msi. dan arkoelog komunitas Anwa Akib yang menarik perhatian wartawan Kompas, Reny Sri Ayu dan T. Sularto. Tentu saja, bukan semata karena kesederhaaan hidup seorang arkeolog. Lebih dari itu adalah pengabdian yang sungguh pada pelestarian dan perlindungan warisan budaya bangsa Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan.
Berikut ini adalah sosok pak Budi versi Reny Sri Ayu wartawan Harian Nasional Kompas yang berjudul: Menggali Masa Lalu Menjawab Masa Depan. Sumber dikutip secara utuh dari https://kompas.id/baca/bebas-akses/2017/11/14/menggali-masa-lalu-menjawab-masa-depan/:

Penemuan lukisan tangan di langit-langit goa karts berusia 40.000 tahun di Leang (Goa) Timpuseng, Maros, Sulawesi Selatan, tahun 2014, sontak mengubah pandangan dunia tentang peradaban, terutama soal lukisan prasejarah. Lukisan tangan tertua bukan terdapat di Spanyol, melainkan di Indonesia. Sebelumnya, selama 100 tahun Eropa mengklaim sebagai wilayah yang mengenal seni cadas purba tertua dengan lukisan tangan berusia 38.000 tahun di Spanyol. Indonesia tentu patut berbangga, terlebih temuan lukisan ini termasuk salah satu dari 10 penelitian terbaik dunia tahun 2014. Bersama kebiasaan masyarakat Tana Toraja, sejak beberapa tahun lalu, lukisan cadas ini didaftarkan ke Organisasi Pendidikan, Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) guna memperoleh pengakuan sebagai world memory heritage.
Di balik temuan yang sempat menghebohkan jagat arkeologi dan sejarah dunia ini, ada Budianto Hakim (53), peneliti senior Balai Arkeologi Sulsel, yang punya peran penting. Budi yang pertama kali mencetuskan ide mendata usia lukisan tangan tersebut.
”Saat itu penelitian yang kami lakukan di Maros, bekerja sama dengan peneliti dan arkeolog Australia, sebenarnya fokus pada pencarian manusia purba. Penelitian pada lukisan tangan hanya untuk mencari jejak DNA yang mungkin tertinggal. Saya memberi ide untuk melakukan dating pada lukisan tersebut karena selama ini umumnya usia lukisan cap tangan hanya ditentukan berdasarkan hasil penggalian,” kata Budi.
Temuan spektakuler ini tak membuat Budi dan peneliti lain puas. Mereka kembali ke tujuan utama mencari jejak manusia purba. Namun, belum lagi manusia purba ditemukan, tahun 2016 mereka menemukan perhiasan berusia 30.000 tahun. Lagi-lagi ini jadi temuan penting karena menjadi perhiasan manusia purba tertua yang pernah ditemukan di Indonesia hingga saat ini.
Lukisan tangan maupun perhiasan, hanya sedikit dari sejumlah penelitian sejarah dan arkeologi penting di mana Budi punya peran strategis. Budi, misalnya, menjadi penghubung antara peneliti luar dan dalam negeri yang melakukan penelitian terutama di sebagian wilayah Sulawesi. Pada sebagian besar penelitian, Budi juga menentukan lokasi ekskavasi. Acap kali, dia pula yang turut melakukan pendekatan pada warga yang lahan atau wilayahnya menjadi lokasi penelitian.
Temuan penting
Perkenalan bapak dua anak ini pada sejarah dan arkeologi dimulai saat masih duduk di bangku sekolah dasar di Parepare. Saat itu, kedua orangtuanya yang guru sering membawa bahan bacaan ke rumah. Budi selalu tertarik membaca buku-buku sejarah. Budi yang memiliki jiwa petualang melihat dalam sejarah dan arkeologi, ada kisah nyata dan petualangan yang berpadu.
Setamat SMA, pada 1984, Budi memilih Jurusan Arkeologi di Universitas Hasanuddin. Keterlibatannya pada berbagai penelitian arkeologi sudah dimulai sejak masih kuliah. Pertama kali ikut penelitian, Budi membantu David Bulbeck yang menyusun disertasi tentang ”Sejarah dan Prasejarah Sulsel”. Selepas penelitian ini, sejumlah peneliti lainnya mengikutkan Budi dalam penelitian atau ekskavasi mereka.
Pada 1998-2000, Budi juga terlibat dalam Oxis Project, sebuah penelitian tentang kerajaan tua di Sulsel yang dilakukan di wilayah Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo. Penelitian ini tidak hanya menguak ihwal kerajaan tua, tetapi juga lokasi awal kerajaan.
Pada Kedatuan Luwu di Sulsel, misalnya, penelitian mengungkap fakta baru bahwa lokasi awal Kerajaan Luwu adalah Malangke, Luwu Utara. Temuan ini seketika mengubah pendapat yang melekat selama ini bahwa lokasi kerajaan adalah di Kota Palopo. Begitu pula pada kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo.
Penelitian demi penelitian maupun ekskavasi membawa Budi berkenalan dengan Adam Brumm, arkeolog dari Universitas Griffith, Australia. Perkenalan pada tahun 2005 kemudian berlanjut dengan memulai penelitian bersama pada 2011. Tujuannya, mencari manusia purba Sulawesi. Penelitian mereka menemukan lukisan tangan tertua dan perhiasan tertua.
Budi optimistis pencarian manusia purba akan berakhir dengan kabar baik. ”Berdasarkan jejak arkeologi dan geologi di wilayah ini, Sulawesi merupakan tempat transit sekaligus tujuan migrasi. Jika selama ini ada anggapan manusia purba di Jawa tak bermigrasi ke Sulawesi, sebenarnya tidak seperti itu. Tapi, itu akan terjawab jelas jika manusia purba Sulawesi kami temukan,” katanya.
Menurut Budi, hal ini sekaligus akan membalikkan fakta yang selama ini menyebut bahwa Indonesia adalah bangsa peniru. ”Bisa jadi jika kami menemukan manusia purba itu, Indonesia juga akan berbangga bahwa bangsa ini punya peradaban yang jauh lebih tua dibandingkan sejumlah negara lain,” katanya.
Kehilangan momen
Berkeliling dari satu lokasi penelitian dan ekskavasi ke lokasi lainnya, berpindah satu goa ke goa lainnya, diakui Budi membuatnya acap kali kehilangan banyak momen penting dalam perjalanan hidupnya. Pernah selama enam tahun ia hidup berpisah dengan keluarganya, saat Budi bertugas di Jakarta dan berkeliling mengikuti penelitian. Sementara istrinya yang bekerja di salah satu bank swasta di Makassar juga tak bisa pindah. Dia mengaku banyak kehilangan momen penting dalam fase pertumbuhan kedua anaknya.
Bagi Budi, penelitian arkeologi dan berbagai penggalian yang dilakukannya, betapapun acap dipandang sebelah mata, punya nilai penting. Setiap lapisan tanah yang dia gali dengan hati-hati adalah kotak hitam peradaban. Lapisan tanah ini menyimpan fakta dari masa ke masa tentang peradaban bangsa ini. Menguak masa lalu, juga memberi gambaran seperti apa leluhur kita.
”Kami menemukan banyak fakta yang menunjukkan bahwa pendahulu dan peradaban kita justru lebih maju dibandingkan dengan banyak negara lain. Setidaknya temuan seperti ini bisa mengangkat derajat bangsa,” ujarnya.
Menurut Budi, menggali masa lalu adalah salah satu cara menjawab masa depan dan menjelaskan banyak hal. ”Ingat bagaimana bangsa Aria memusuhi Polandia hanya karena temuan satu keping gerabah berlambang Nazi,” tambahnya. 
Itulah sebabnya, Budi belum lelah untuk terus melakukan penelitian dan menghabiskan banyak waktu dalam hidupnya, berpindah dari satu goa ke goa lain. Dia bahkan bertekad terus mencari hingga menemukan manusia purba Sulawesi yang jejaknya sudah mulai tampak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar