Jumat, 17 November 2017

Literasi Warisan Budaya APEX Balar 2017

Dari Alun-alun Pantai Seruni Bantaeng, Balai Arkeologi Sulawesi Selatan (Balar Sulsel) dengan bangga menggelar Archeological Partenership and Expose (APEX 2017). Ini adalah pagelaran dan kemitraan yang kedua Balar Sulsel dengan pemerintah daerah yang bertajuk APEX sebagai pengembangan dari Kemah Arkeologi sejak tahun 2006. 
Apa yang signifikan, dan karena itu bermakna dari APEX di Bantaeng? Bagi Tajuddin (69), pensiunan guru Bahasa Indonesia SDN 5 Bantaeng, kegiatan APEX merupakan ajang membangun kekompakan. “Seringkali perlombaan antarsekolah berujung ricuh”. Namun, menurut pak Taju yang saat ini kembali bertani, memandang pertunjukan seni APEX lebih mengedepankan budaya toleransi. Sejauh disaksikannya, ada kesungguhan anak-anak muda mengekspose kemampuannya bernyanyi, memainkan peralatan seni, menari, berpuisi, mengusung tema-tema warisan budaya di atas panggung. Penonton tidak tergoda untuk bertindak liar. Menariknya lagi, banyak ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak kampung yang menyaksikan pertunjukan hingga usai.
Kesan lain dari seorang ibu rumah tangga, Almi (45) yang singgah sepulang belanja di pasar malam. Perempuan paruh baya ini mengaku tertarik untuk menyaksikan penampilan siswa dari SMA Negeri 1 Selayar. Menurutnya, pertunjukan sendratari yang berjudul Daeng Camummu yang dipentaskan siswa SMA Negeri 1 Selayar sudah bagus, tapi terlalu singkat. Berbeda sekali dengan apa yang pernah disaksikannya di pulau Jampea kepulauan Selayar. Namun, menurut guru pendamping siswa SMAN 1 Selayar, penyingkatan dilakukan untuk memenuhi jangka waktu lima menit yang ditentukan panitia APEX. Penyesuaian dari sisi peralatan juga dilakukan, misalnya dari peralatan bedil yang digunakan Tuan untuk menembak Bangau Putih (tokoh Daeng Cammumu) menjadi panah yang digunakan seorang Pemuda Desa. Penyesuaian ini didasarkan pada konteks pemain dan penonton yang mayoritas pelajar.
Kreativitas seperti yang dilakukan siswa SMAN 1 Selayar, juga terasa pada pertunjukan Tari Pagellu oleh siswa-siswi SMA Negeri 6 Toraja Utara. Tarian itu dimainkan oleh 3 penari siswi, 3 penari siswa dan 2 orang penabuh gendang secara apik, kompak dan indah sesuai dengan pakem tari Pagellu. Sentuhan kreativitas tampak pada penggunaan topeng pengawal dan orang tua, serta tameng senjata tanduk kerbau yang dikenakan penari siswa. Unsur kreatif yang paling menonjol adalah nada teriakan yang biasanya khas tarian masyarakat Toraja, yang bernada tinggi. Pada malam itu, nada teriakan diturunkan, sehingga mirip sebuah sapaan akrab dalam pergaulan remaja; ‘hai...hai-hai...”.          
Dari aspek tematik, menurut seorang juri lomba cipta dan pentas musik, apresiasi siswa-siswi kian terasa kuat dibanding APEX 2016 di Watansoppeng. Hanya 2 dari 10 penampil yang dinilai kurang mengapresiasi tema warisan budaya atau pun situs sejarah-arkeologi. Penampilan SMA Negeri 1 Watansoppeng dan SMA Negeri 2 Watansoppeng menunjukkan kemampuan siswa mengolah lirik bertema situs sekaligus memainkan peralatan musik perkusi, tiup, petik, keyboard dalam suatu komposisi. Demikian halnya, penampilan siswa-siswi SMA Negeri 5 Bantaeng, SMA Negeri 1 Selayar, dan SMA Negeri 1 Gowa. Meskipun masih mengandalkan peralatan musik petik (gitar), komposisi lagunya tidak lah mengecewakan. Misalnya, lagu yang disajikan SMAN 1 Gowa memasukkan unsur irama ‘rap’ sebagai daya tarik penampilannya.
Dari ajang perlombaan Menulis Kreatif (Literasi Warisan Budaya), beberapa penulis remaja dinilai cukup berbakat. Meskipun tidak banyak, yakni 2-3 dari 12 peserta lomba. Kendala teknis seperti waktu pembekalan yang terbatas akibat kepadatan agenda APEX, sebagian siswa masih menulis berdasarkan ragam tulisan atau laporan ilmiah. Tuntutan untuk mengedepankan aspek informasi lapang (situs) juga mempengaruhi siswa, sehingga abai terhadap aspek imajinasi yang merupakan intik dari tulisan kreatif semacam features maupun essai. Tulisan siswa SMA Negeri 2 Bantaeng dan SMA Negeri 1 Selayar adalah 2 dari 12 naskah yang dinilai memenuhi karakteristik tulisan kreatif atau pun karangan bebas (creative-writing). Pada dua tulisan tersebut, unsur deskriptif-informatif (laporan field trip) dikemas dengan gaya penulisan (features), gaya bahasa (kiasan, metafor), dan kronologi perjalanan (caper – catatan perjalanan) yang menarik.
Dari sisi kreativitas, uraian singkat di atas dapat menjelaskan makna yang signifikan dari APEX 2017 di Bantaeng dibandingkan sebelumnya. Meskipun jumlah sekolah yang hadir hanya separuh dari peserta APEX 2016, apresiasi dan kualitas pertunjukan siswa tetap terjaga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar