Istilah generasi Zaman Old digunakan oleh anak-anak muda
millenial untuk menyebut para arkeolog yang menggeluti peradaban manusia masa
lampau. Generasi millenial, yang kini lebih populer disebut KidZamanNow alias “anak jaman medsos” adalah
anak-anak muda masa kini kelahiran tahun 2000-an. Mereka tumbuh dan berkembang
pada masa pesatnya penggunaan teknologi digital, internet. Sejak kecil terbiasa
dengan bunyi, bentuk, dan radiasi elektromagnetik yang dipancarkan mesin
digital. Umumnya, pelajar sekolah menengah, yang ‘melek teknologi’ (techno-savvy) dibanding orang tua mereka
yang lebih ‘melek huruf’ (techno-literacy).
Anak-anak muda millenial ini kemudian menjadi konsumen aktif atau pengguna
utama gadget (gawai), aplikasi, dan fitur-fitur pada laptop dan smartphone
(android).
Sesungguhnya, generasi zaman old maupun zaman now, sama-sama mengalami ketergantungan pada produk teknologi
digital. Bedanya, anak-anak muda ‘zaman now’ di kota maupun di pedesaan, jauh
lebih intens dan lebih cekatan menggunakan berbagai fitur dan aplikasi android
tinimbang orang-orang tua mereka. Di sisi lain, generasi zaman old memiliki pengalaman dan literasi yang memadai untuk
mengapresiasi dan mengolah berbagai informasi yang disediakan teknologi digital.
Hal inilah yang mendasari kebanyakan orang-orang tua memandang penting sekali
membiasakan ‘kid zaman now’ berinteraksi dan mengalami langsung kehidupan
sehari-hari. Misalnya, menguji informasi dalam diskusi kelompok, atau pun
mengekspresikan pengalaman dalam bentuk tulisan maupun pertunjukan kreatif.
Berkaitan dengan hal tersebut,
penulis mengapresiasi kegiatan Balai Arkeologi (Balar) Sulawesi Selatan yang
melibatkan siswa-siswi sekolah menengah atas dalam Archeological Partnership Expose (APEX). Setiap tahun, Balar Sulsel
memobilisasi siswa-siswi untuk mengambil bagian dalam berbagai even APEX. Tahun
2017 adalah tahun ke 10 yang diselenggrakan Balar Sulsel bekerja sama dengan
pemerintah daerah. Dan, even serupa APEX ini semakin terasa signifikansinya
bagi pendidikan karakter generasi muda. Rangkaian kegiatan APEX seperti workshop,
bedah buku, kunjungan situs, menulis kreatif, fotografi hingga pertunjukan
seni, semakin eventual.
Rangkaian kegiatan APEX telah
melampaui misi Balar itu sendiri yang hendak menjadi pusat informasi dan
pengembangan arkeologi di wilayah timur Indonesia. Balar Sulsel hari ini sedang
mengembangkan literasi warisan budaya tangible
maupun intangible bagi generasi muda
milenial; menanamkan kesadaran berbahasa, sejarah, budaya-tradisi, kerjasama,
juga nilai-nilai kompetitif bagi siswa-siswi sekolah menengah atas.
Literasi dan Warisan Budaya
Mengutip rumusan National Intitute for Literacy (NIFL), Literasi adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan
memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan,
keluarga dan masyarakat. Pengembangan dari pengertian ini adalah proses generasi
mudah mewarisi nilai-nilai budaya sejak dini, yaitu mengingat, mendengarkan,
membaca, menyaksikan, mengungkapkan, dan melakukan perubahan perilaku sesuai
dengan tuntutan zaman now.
Warisan Budaya, sebagaimana yang dirumuskan oleh Unesco
adalah benda (tangible) dan atribut tak benda (intangible) yang merupakan jati diri masyarakat atau
bangsa yang diwariskan oleh generasi masa lalu, dan dilestarikan kepada
generasi masa kini dan yang akan datang. Warisan budaya berupa benda (tangible
) dapat diindera dan diukur (artefak, peralatan, bangunan maupun berupa
lokasi atau kawasan). Warisan budaya tak benda (intangible) hanya
dapat diapresiasi dengan akal-budi dan rasa-merasa (pengetahuan tradisional, desain
industri, tradisi lisan, komposisi bunyi, gerak, dan motif).
Indonesia adalah negara
adikuasa (superpower) di bidang
warisan budaya. Pernyataan ini tidak terbantahkan. Misalnya, ada sekitar 82.000
desa/kelurahan dengan berbagai sebutan yang khas seperti wanua, gampong, dusun,
kuwu, negeri, nagari, banjar, lembang, jorong. Begitu pun sebutan bagi seorang
kepala desa sangat unik seperti matoa, gallarang di Sulsel, Ayahanda di Gorontalo,
Sangadi di Bolaang Mongondow, Geuchik di Aceh, Raja di Maluku, Kepala Kampung
di Papua, Petinggi di Sumatera, Lurah di Jawa, dan lain-lain.
Dari Sabang hingga Merauku,
dari Miangas hingga Rote, luas wilayah NKRI adalah 1.905.000 km persegi dengan
populasi 257.912.349 jiwa (BPS, 2016). Dari sini terbentang sekitar 1.340 suku
bangsa/etnis dari 300 kelompok suku; sekitar 1.211 bahasa daerah yang tersebar
di 17.504 pulau besar dan kecil. Di
Sulawesi Selatan, terdapat 11 suku bangsa, dan 9 bahasa yang tersebar di 3.813
desa/kelurahan dan 295 pulau (BPS, 2015). Dengan kekayaan dan keanekaragaman
warisan budaya itu semua, sudah benar bila Unesco menyebut Indonesia adalah ‘superpower’
budaya-tradisi. Nyaris tidak ada negara di dunia ini yang sekaya dan seaneka
ragam Indonesia.
Pertanyaannya, apa yang diapresiasi
anak-anak zaman now dari ‘harta karun’
warisan budaya itu?
Belajar, Bermain, dan
Berkompetisi
Geberasi KidZamaNow jelas memiliki kesempatan yang nyaris tanpa batas untuk
menjangkau dan mengupdate situasi kebudayaan masa kini. Setiap hari, setiap
menit, tinggal click, maka mesin
google menyediakan informasi dan mengupdate peristiwa kebudayaan di seluruh
dunia. Seluas itulah medan pembelajaran anak-anak muda masa kini, dan semudah
itulah mereka menentukan pilihannya. Soalnya kemudian, seberapa lama mereka
menggunakan internet untuk mengakses informasi kebudayaan? Faktanya, tidak lah
begitu menggembirakan.
Sejauh pengetahuan penulis
dari pengamatan dan percakapan dengan siswa sekolah menengah atas dan mahasiwa
(usia 15 – 24 tahun), rata-rata waktu yang digunakan mengakses media sosial
adalah 2 – 5 jam. Mereka memanfaatkan aplikasi Whatsapp, Line, Instagram,
Facebook, dan intens menonton video You Tube, terutama melalui mesin android.
Namun, informasi yang paling menarik diakses dan dibagikan belakangan ini? Sebagian
besar adalah informasi tentang keagamaan, hiburan budaya pop, perisriwa heboh, di
samping tugas-tugas sekolah dan tentu saja game.
Kecenderungan seperti ini tentu sangat menantang para orang tua, juga guru dan
pegiat pendidikan. Apatah lagi bagi para arekolog dan sejarawan, yang mulai
merasa semakin tua (old) di jaman yang cenderung semakin a-historis ini.
Dari ilustrasi di atas,
penulis semakin menyadari arti pentingnya even APEX Balar Sulsel. Di balik itu,
para arkeolog terus berupaya menegaskan eksistensinya, sambil menjangkau
sebanyak mungkin siswa-siswi dan anak-anak muda milenial terlibat dalam
kegiatan belajar, bermain, dan berkompetisi di ajang APEX Balar Sulsel#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar