Selasa, 02 Februari 2016

SIAPA PEDULI MAKAM TUA BARRANG LOMPO



Sejarah kampung, sejarah peradaban kota. Entitas suatu kota diterjemahkan dari sejarah atau legenda kampung, yang dahulu disebut Wanua. Bukan sebaliknya. Soal ini ditegaskan oleh almarhum Profesor Mattulada dalam sebuah makalahnya (1992) bahwa masyarakat sulawesi selatan hanya mengenal konsep Wanua (kampung, pemukiman). Kota yang dikenal kemudian merupakan pusat pemerintahan. Penegasan ini dapat dijadikan landasan berpikir bahwa legitimasi suatu pemerintahan kota (Walikota), seharusnya sejalan dengan moralitas "Patanna Kampong" (tetua kampung). Kota Makassar yang dikenal hingga kini sesungguhnya adalah kota kolonial dibawah pemerintahan Hindia Belanda, yang berkedudukan di benteng Fort Rotterdam.
Pulau Barrang Lompo, suatu kampung yang menjelaskan sisi lain dari sejarah kota Makassar. Kampung (kelurahan) seluas 20,38 ha, berpenduduk 4.000-an jiwa, yang jarakna sekitar 13 km dr pusat kota Makassar. Pulau yang bernuansa mistik, begitu kesan seorang sahabat yang pernah bekerja 4 tahun di sana. Yang dia maksud adalah komplek makam tua dan mesjid, yang bertalian dengan risalah penyebaran Islam dan asal mula penduduk pulau. Di dalamnya tercatat riwayat pembauran orang Bugis (Bone), Makassr (Gowa), Melayu, Mandar dan China. Juga dikisahkan aksi-aksi gerombolan di pulau ini pasca kemerdekaan. Sungguh suatu tempat ziarah yang penuh berkah. Sayangnya, tidak banyak yang merilis catatan kunjungan maupun hasil penelitian tentang situs-situs bersejarah tersebut. Kebanyakan pengunjung dan peneliti menguraikan aspek sosial-ekonomi dan potensi wisata pulau Barrang Lompo.
Tulisan ini pun hanya lah sebuah catatan harian dari kunjungan singkat penulis sekitar bulan April 2014. Penulis laiknya wisatawan yang sempat memotret beberapa situs makam tua, yang diperkirakan sudah ada pada abad XIX. Dengan harapan catatan ini menggugah para peneliti sejarah dan arkeologi untuk mengkaji lebih komprehensif situs tersebut sebagai bagian yang tidak terpisah dari sejarah kota Makassar. Berikut catatan pendek penulis.
Masyarakat pulau Barrang Lompo memiliki kemampuan menggunakan beberapa bahasa sekaligus seperti Makassar, Bugis, Mandar, dan China (Tionghoa). Bahasa yang terakhir ini jarang digunakan lagi. Demikian halnya sapaan Ance dan Bonda yang ditujukan kepada keturunan Tionghoa, tidak pernah terdengar lagi. Kepunahannya mengikuti perubahan sosial dan pertumbuhan penduduk dari generasi ke generasi. Sekolah-sekolah formal juga turut mengkonstruksi keasadaran berbahasa, terutama di kalangan anak dan pemuda menjadi hanya bahasa daerah Bugis-Makassar dengan aksara Lontaraq. Dengan sesama suku, mereka menggunakan bahasa daerah yang sama. Pada saat berinteraksi dengan dengan suku yang berbeda, mereka menggunakan bahasa Makassar atau pun bahasa Indonesia sebagai pengantar komunikasi.
Pada umumnya masyarakat di pulau Barrang Lompo masih menghargai budaya spiritual (tradisional). Misalnya, upacara Lahir Bathin, yaitu kegiatan mensucikan diri smenjelang bulan Ramadhan; Songkabala, upacara  menolak bala (bencana); Pa'rappo, ritual yang dilakukan nelayan sebelum tmelaut, dan; upacara Karangan, yaitu ritual yang dilakukan nelayan sepulang melaut sebagai bentuk rasa syukur atas hasil tangkapan yang berlimpah. Ada pula kelompok tarekat yang pengikutnya cukup aktif berdzikir pada setiap malam jumat. (Dg. Situju).

8 komentar:

  1. apa dah sempat berkunjung ke pulau barrang lompo?

    BalasHapus
  2. Apakah maqom barrang lompo itu sayyid abdullah bin ahmad.hp ana. 081351780355

    BalasHapus
  3. Coba di tambah lagi bacaanx dengan mendatangi mesjid tertua

    BalasHapus
  4. Sayyid ba' alwi bin abdullah bin ahmad

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sayyid Alwi bin Abdul Rahman Assegaf..apakah ada nama anak nya Sayyid Alwi bernama Sayyid Muhammad..mohon penjelasan 081351780355

      Hapus
    2. Sayyid Alwi bin Abdul Rahman bin Sayyid Ali bin Sayyid Abdullah..hp saya 081351780355 mohon penjelasan nya

      Hapus
  5. Apa betul saudara Sayyid ba Alwi bernama Syarifah fatimah

    BalasHapus